Senin, 21 Januari 2013

Seutas Tali Harapan



Sebenernya Cerpen ini gue buat waktu gue duduk dikelas VIII. Tapi, berhubung gue baru bikin blog sekarang.. jadi baru gue share sekarang deh. Selamat membaca, dan please komennya..

“ Hidup akan terasa indah, jika kita bisa mensyukuri apapun yang kita punya. Tapi, hidup akan terasa resah, jika kita hanya bisa menginginkan apapun yang orang lain punya.”

-Remember-

...........

                Sinar matahari yang terik, tepat menyusup masuk melewati jendela sebuah ruangan besar bercat putih serta dilengkapi barang-barang berwarna putih. Tidak ada satu orang pun yang mau ditakdirkan menjadi penghuni ruangan itu. Walau tempatnya terlihat nyaman, tetapi cukup membuat orang tak kuasa menahan air mata kesedihan, terikkan histeris, dan berbagai rasa yang menyayat hati dapat dialami. Berbagai teknologi canggih menghiasi meja berukuran sedang yang selalu setia berada disamping ranjang.
Dilain tempat, dua pasang mata yang terlihat cemas memandang lurus ke satu titik didalam ruangan, dan selalu menginginkan alat itu terus berseru putus-putus. Beberapa selang berdiameter kecil, bergelantung mengalirkan cairan merah dan oksigen kepada seonggok daging yang terus memiliki harapan. Gadis kecil yang malang terbujur lemah tak berdaya diatas ranjang. Garis wajanya  yang menggambarkan kelelahan, seakan menambah sayatan luka dihati kedua orang tuanya.
                Tuhan selalu memberikan kemudahan pada hambanya yang merasa tak kuasa menghadapi masalah. Termasuk pada gadis kecil ini. Bagai merasakan apa yang dirasakan gadis kecil itu, merpati putih yang selalu setia bertengger diluar jendela memandang lembut kearah gadis kecil didalam ruangan. Bahkan teriknya matahari pun tak membuat merpati putih itu pergi.
“Kamu pasti kuat sayang..” suara lirih sang bunda terdengar.
“Dia pasti bisa! Tasya anak yang hebat, dia pasti berjuang untuk kita!” seorang pria yang masih tampak gagah itu memeluk sang istri dengan lembut. Sang istri pun hanya mengangguk, dan berdoa dalam tangisnya.
Melihat gerakan kecil di tangan mungil sang gadis, merpati putih tampak mematuk kaca jendela dengan keras,  seakan memberi isyarat kepada sepasang suami-istri muda itu. Dengan kencang merpati putih mematuk kaca jendela terus-menerus. Mendengar suara asing didalam ruangan, sepasang suami-istri muda itu pun masuk dengan tergesa-gesa dan menghampiri buah hatinya.
“Bangun sayang, ini bunda..” dengan penuh kasih sayang sang bunda membelai anaknya.
“Bunda, tangan Tasya bergerak.”
“Tasya.. kamu sadar sayang?” tanya sang ayah.
Dengan perlahan kedua mata gadis kecil itu pun terbuka. “Ayah.. bunda..” suara lirih penuh kelelahan terdengar.
“Iya sayang, ini bunda”
Senyuman lembut gadis kecil itu berhasil menghancurkan benteng kuat yang mengancam dihati kedua orang tua nya. “Aku sayang bunda..” senyuman kecil terulukis dibibir mungil sang gadis. “Aku sayang ayah..”
Kata-kata itu. Kata-kata yang ingin sekali didengar lagi oleh kedua orang tuanya. Mendengarnya, hanya tangis bahagia yang menyambut.
                Bola mata kecoklatan itu kembali terpejam, setelah menyebutkan kalimat yang dirindukan kedua orang tuanya selama tiga bulan. Mata indah itu, mengeluarkan setetes air mata yang membasahi pipi. Disusul dengan seruan suara alat yang sedari tadi putus-putus kini berseru menyambung.
Tangisan bahagia sekejap lenyap dan berubah menjadi tangisan kesedihan yang mendalam.
“TASYAAAAAA.......” teriakan histeris sang bunda terdengar kencang.
“Tasyaaaa....jangan tinggalin ayah, sayang...” sambil memeluk erat istrinya.

Keringat mengalir deras ditubuh Nadine. Jantung yang berdegub kencang, nafas yang tersengkal-sengkal tak lama menjadi normal. “Huh.. mimpi itu lagi? Siapa dia? Tasya....? Kasihan gadis kecil itu. Tapi.. kedua orang tuanya? Wajahnya  nggak terlihat. Kenapa selalu aja aku melihat kejadian itu dari luar ruangan?” terasa sesak didada. Rasa penasaran selalu saja menyelimuti.

...........

“NADINE...... rese ya? Bisa banget lo bohongin gue?” suara Tiara yang keras bagaikan tongkat Nabi Musa a.s yang mampu membelah lautan, membuat suasana ramai dikantin mendadak sunyi. Semua mata tertuju padanya. “Apa lo semua lihat-lihat?” tanyanya kasar. Mendengar petanyaannya, terlukis wajah ketakutan diantara pengunjung kantin. Keadaan pun kembali ramai. Tersangka yang telah diteriakki dari tadi justru sedang asik menikmati semangkuk bakso pedas disalah satu meja makan dikantin bersama sahabat-sahabatnya yang lain.
“Nad, Tiara marah tuh sama kamu.” Dewi menyadarkan ku yang sedari tadi asik sendiri.
“Biarin aja deh, Wi. Nanti juga baik lagi kok. Gue nitip cappucinno ya kalo lo mau beli minum.” Jawab ku santai.
“Iya deh, Dewi beli minum dulu ya? Kamu juga mau, Dho?” yang ditanya pun hanya mengangguk tanda setuju. “Boleh, gue sama aja deh kayak Nadine.” Tinggallah aku berdua dengan Ridho yang juga masih asik dengan baksonya. Aku, dan Ridho memang sedang ketiban sial. Jam istirahat pertama setelah Ujian Nasional tingkat SMA selesai kami pakai untuk rapat OSIS, alhasil cacing didalam perut kami berdua meronta-ronta kelaparan.
“Nadine! Lo bohongin gue ya? Mana? Katanya Albert nyariin gue?” Tiara yang masih dongkol dengan aku pun langsung memuntahkan amarahnya.
“Ih, gue nggak bohong kok. Iya kan, Dho?” aku mengedipkan sebelah mata pada Ridho yang sudah kusiapkan sebagai pembela. Dengan mengeluarkan senyum manisnya, Ridho angkat bicara.
“Iya. Nadine nggak bohong. Tadi gue juga ketemu Albert kok, terus dia tuh nanyain lo.”
“Alah.. kalian kan kerja sama buat bohongin gue. Iya kan?”
“Ya ampun.. jahat banget sih lo, nuduh gue sama Ridho yang baik hati dan tidak sombong ini udah ngebohongin lo.” jawab ku sambil manyun.
“Hai..” terdengar suara sapaan dibelakang Tiara. Dengan cepat Tiara berbalik badan.
“Albert? Kok lo disini? Bukannya lo di perpus?” Albert hanya memasang tampang bingung setelah mendapat pertanyaan dari pacarnya.
“Hahahaha....” aku dan Ridho pun tertawa. “Aduh, queen Tiara.. sejak kapan gue bilang Albert nyari lo di perpus?” lanjut Ridho disela-sela tawanya. Tampang Tasya pun berubah bete.
“Iya, aku tadi nyuruh Ridho bilangin ke kamu kalau aku nyari kamu. Tapi bukan di perpus.” Jelas Albert.
“Lagi sih, tadi gue belum selesai ngomong lo udah main kabur aja.” Ledek ku.
“Yee.. gue kira kan Albert di perpus. Biasanya kan istirahat kedua dia disitu.” Elak Tiara. “Tadi kamu dimana sih?” tanya Tiara yang masih terlihat bete. Albert hanya tersenyum untuk meluluhkan amarah Tiara. “Tadi aku gantiin Ridho mimpin anggota judo yang mau ikut seleksi kejuaraan. Jadi aku tadi ada di ruangan club judo.” jelas Albert. “Yaudah deh, kita kekelas aja yuk!” ajak Tiara yang langsung merangkul tangan Albert.
“Ganggu jam makan gue aja deh tu anak berdua.” gerutu ku. “Ganggu jam makan kita.” Ridho membenarkan kata-kata ku.
“Eh, oh iya. Kan ada lo ya? Hehe..” jawab ku cengengesan.
“Ini nih buat kamu berdua, kalau yang ini buat aku.” Dewi menyerahkan dua cappucinno kearah ku dan Ridho. Sedangkan dia telah menikmati segelas minuman seperti youghurt yang berisi buah-buahan.
“Apa tuh?” tanya ku penasaran. “Ini namanya bubur buah. Perpaduan ice cream sama youghurt di blender, trus dikasih buah-buahan deh atasnya. Segar banget lho, lumayan buat yang mau diet. Kalian lihat kan? Itu tuh, ramai bangetkan?” Dewi menunjuk barisan panjang dipojok kantin.
“Hah?! Pasti enak! Gue jadi mau. Tapi.. kalau seramai itu, jadi males duluan deh.”
“Mang Jaka sama istrinya terima pesan antar kok.” lanjut Dewi. “Bener?” tanya ku antusias.
“Iya, tapi dalam jumlah banyak. Trus biaya antar dilihat dari kejauhan lokasi, jadi Mang Jaka cuma terima pesanan yang dekat-dekat aja.” Jelas Dewi. Aku memandang kesal ke arah Dewi. “Yee.. sama aja bohong. Masa iya gue makan dalam jumlah banyak? Bisa mules-mules gue.”
“Hehehe.. Dewi kan cuma ngasih tau secara lengkap.”
“Hahaha...” Ridho yang sedari tadi menjadi pendengar setia kini ikut menertawakan ku.
Aku melototi Ridho dengan pandangan seakan berkata diem-deh-lo-kalau-makan-ya-makan-aja. “Peace.. gue gak ikutan.” Katanya dengan nada meminta ampun. Bel masuk pun berdering keras. “Yah.. masuk? Ya ampun.. udah selesai Ujian, masih aja belajar. Belajar apa lagi coba?” tanya ku sendiri. “Emm.. Bahasa.Inggris kayaknya.” jawab Ridho yang langsung berdiri. Aku menghelas nafas mendengar jawaban dari Ridho, mengingat guru yang akan mengajar, itu sangat mempengaruhi semangat belajar ku.

0 komentar:

Posting Komentar