Selasa, 22 Januari 2013

Seutas Tali Harapan - 3


Dewi
Udara dingin menusuk hingga terasa sampai ke tulang. Jaket tebal pun tak mampu menahan udara dingin yang terus menusuk. Sudah tiga hari aku sakit. Dan tidak ikut dalam mencari informasi tentang Nadine. Hujan deras mengguyur Jakarta, sangat tidak mungkin jika ada yang berkunjung saat hujan begini. Tapi sedari tadi, bel rumah ku berbunyi. Dengan sekuat tenaga, aku membawa tubuh ku untuk berjalan membuka pintu. Perlahan pintu ku terbuka, mata ku terbelalak melihat kedatangannya..


...........

“Lo udah nggak papa, Wi?”
“Emm.. masih demam sih. Tapi ya.. udah mendingan kok.”
“Emm.. bagus deh. Kita mau lo jujur, Wi.”
Jantung ku berdegub mendengar perkataan terakhirnya. “Maksudnya?”
“Kita semua mau lo jujur, Wi. Lo pasti tau dimana Nadine kan?” aku hanya termenung mendengarnya. “Wi, please.. gue tau elo. Lo nggak pernah bohong selama ini, tapi kali ini gue yakin lo tau dimana Nadine.” Lanjut Ridho.
“Kalian bener. Dewi tau Nadine ada dimana. Nadine yang minta Dewi rahasikan ini, Nadine takut kalian sedih.” Terpaksa aku memberitahu semuanya.
“Jadi? Nadine yang nyuruh lo? Tega banget sih.. Dia nggak tau apa kalau kita khawatir?” Tiara ikut marah mendengar jawaban ku barusan.
“Kamu jangan marah dulu, aku mau kasih tau yang sebenarnya.”
                Aku menghela nafas berkali-kali. Takut ini kesalahan terbesar yang pernah ku lakukan. Wajah Ridho, Tiara, dan Albert pun tampak bertanya-tanya.
Ingatan ku kembali pada memori dulu.. Aku pun mulai bercerita..

...........

                Suasana ramai tak sedikit pun terasa bagi Dewi yang sedari tadi duduk termunung dibangku taman sekolah.
“Heh!! Anak cupu!” Tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Dengan cepat ia menoleh.
“Chaca?  Apa aku ada salah sama kamu?” tanya Dewi pelan.
“Ya jelas lah! Berani banget lo ngalahin gue dikejuaraan. Anak cupu kayak lo tuh, gak pantes dapetin kemenangan itu! Ya nggak teman-teman?” tanya Chaca pada teman-temannya.
“Iya bener tuh, Cha. Masa sih lo mau dikalahin sama dia?” tambah salah satu temannya.
“Hajar aja, Cha. Mungkin tadi dia curang, makanya lo kalah.” Lanjut teman disebelah Chaca.
“Tapi aku nggak curang..”jawab Dewi ketakutan.
                Tanpa mendengar lagi alasan dari Dewi, Chaca sudah melayangkan tangannya. Tiba-tiba... terlihat  sosok  gadis cantik dibelakang Dewi  yang menyandarkan tubuhnya ke dinding.
“Buat ngelawan satu anak  yang lo anggap cupu aja, lo bawa teman. Hhh.. Beraninya keroyokkan. Lo takut kalah lagi? Empat lawan satu? Sebenarnya yang cupu itu elo semua atau Dewi sih?” kata-kata Nadine cukup membuat Chaca menghentikan tangannya sebelum sampai di pipi Dewi.
“Lo lagi. Ngapain sih lo disini?” tanya Chaca kesal.
“Lho? Ini kan sekolah gue juga, ya gue belajar lah disini. Nggak tau deh kalau lo sama teman lo itu, belajar atau cuma main disini?” jawab Nadine santai.
                Chaca menghela nafas kesal. Ketiga temannya pun sudah menampakkan wajah ketakutan saat melihat Nadine cewek  paling populer di SMP tersebut.
“Mending lo jauh-jauh deh! Jangan pernah  lo gangguin orang lain selagi masih ada gue disini!” lanjut Nadine. Dengan menyimpan rasa sebal, Chaca dan ketiga temannya pergi dari taman dengan menghentak-hentak  kaki tanda kesal sambil memelototi Dewi.
“Lo belum diapa-apain kan?” tanya Nadine setelah mendekati Dewi.
“Aku nggak apa-apa kok. Makasih ya.. aku tau kamu baik. Kamu nggak kayak Chaca, yang memanfaatkan kepopularitasnya buat gangguin orang lain.” Jawab Dewi pelan.
Nadine hanya tersenyum mendengar perkataan  Dewi. “Tau apa lo tentang gue?”
“Emm.. Dewi nebak aja.” Jawab Dewi terbata-bata.
“Lo nggak  salah kok, Chaca aja tuh yang rese. Dia orangnya emang begitu, tapi sebenernya dia baik kok. Mungkin dia cuma kaget aja dengan kehadiran kamu disini. Chaca selalu menang kejuaran Taekwondo semenjak kelas tujuh, tapi aku salut sama kamu.. kamu bisa ngalahin Chaca dengan mudah.”
“Aku tau kamu jujur, tapi kemenangan itu...” jawab Dewi dengan perlahan, tapi dengan cepat Nadine memotongnya.
“Aku tau kemampuan kamu.. kenapa kamu nggak mencoba berubah? Aku paling nggak suka ngeliat  Chaca yang selalu menghina atau pun mencibir orang lain.”
“Kamu tau aku bisa..?” Nadine pun hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Gue tau itu sejak lo pindah ke sekolah ini, dan saat pertandingan mata lo nggak pernah lepas natap Chaca. Itu bahaya banget buat seorang pemula. Tapi anehnya, lo bisa ngebaca semua gerakan Chaca. Jadi tebakkan gue bener kan? Lo bisa baca fikiran orang lain cuma dengan ngeliat matanya? Lo hebat, gue aja sampe beli cemilan yang banyak buat  iseng-inseng sambil ngeliat penampilan lo.”
“Tapi Chaca takut sama kamu. Aku bisa lihat itu.”
“Lo emang bener, tapi gue nggak  bisa ngubah sifatnya. Dia keras kepala.”
“Trus apa yang harus aku lakukan? Mereka selalu mencibir aku.”
“Rubah penampilan lo! Gue nggak suka lo dibilang cupu. Gue akan bantu lo, lo percaya sama gue kan?”
“Aku  tau kamu jujur, Nad.”
Senyuman tulus terlukis dibibir Nadine. “Jadi.. kita teman ya?”
“Kamu ...?”
“Kenapa? Lo nggak mau jadi sahabat gue ya?” Nadine menampakkan wajah kecewa.
“Nggak, bukan gitu.. aku mau banget. Makasih ya..” Dewi yang gembira langsung memeluk Nadine.

“Jadi? Lo bisa baca fikiran? Cuma dengan ngeliat mata? Cool..” puji Ridho takjub.
Aku pun hanya mengangguk pelan. “Semenjak itu, penampilan ku berubah. Semua kaget melihat aku dengan penampilan baru. Dan Nadine memang benar, semua nggak lagi mencibir aku.”
“Itu foto kecil lo? Dan ini sekarang lo.. emang jauh beda.” Tiara ikut memuji. “Beda banget. Disini lo.... maaf ya? Tapi lo cupu banget. Dan lihat lo sekarang, lo cantik, manis. Ternyata Nadine lebih hebat dari yang gue kira.”
“Aku tau kamu jujur..” aku tersenyum lembut kearah Tiara.
“Iya, lo jauh beda banget. Sumpah.. jauh banget.” Tambah Albert.
“Apa kalian akan ngejauhin aku?” tanya ku pelan. Semua menatap ku dengan serius. “Kenapa kalian ngelihat aku kayak gitu?”
“Biar lo bisa baca fikiran kita. Kalau kita tuh tulus temenan sama lo.” Jawab Tiara yang langsung memeluk ku. “Iya..” jawab Ridho dan Albert berbarengan.
“Tapi aku lihat, kamu ...”
“Kenapa? Kenapa sama fikiran gue?” tanya Ridho ketakutan sambil memegangi kepalanya.
“Kamu suka kan sama Nadine? Udah lama, sejak awal Nadine pindah sekolah ke SMA kita.” Jawab Dewi sambil tersenyum.
“Wah, man. Ternyata lo suka sama Nadine? Jadi cewek yang selama ini lo curhatin ke gue itu Nadine?” tanya Albert sambil mengelengkan kepala pada Ridho. Ridho hanya cengengesan mendapat pertanyaan dari Albert.
“Tapi sekarang gue khawatir banget sama Nadine. Dimana dia sekarang, Wi?” dengan cepat tampang Ridho berubah.
“Aku nggak bisa kasih tau kalian. Aku nggak mau menghancurkan kepercayaan Nadine ke aku. Nadine cuma bilang, kalau dia baik-baik aja.” Jawab ku pelan. Tiba-tiba Tiara mengeluarkan air mata yang sedari tadi wajahnya ditutupi bantal.
“Gue kangen Nadine.. dia satu-satunya orang yang bisa bikin gue berubah. Bahkan orang tua gue pun nggak bisa nasehatin gue. Nyokap yang selalu kerja buat memenuhi kebutuhan gue dan nyokap. Sedangkan bokap gue? Nggak tau kemana. Bokap ninggalin gue gitu aja dan pergi sama wanita lain. Sejak itu gue nggak suka ngelihat orang lain bahagia. Gue selalu ngeganggu orang lain. Tapi sejak ada Nadine di sekolah kita, dia yang selalu nyemangatin gue walaupun awalnya gue benci dia. Dia selalu mencampuri urusan gue. Dia pernah bilang “Hidup akan terasa indah, jika kita bisa mensyukuri apapun yang kita punya. Tapi.. hidup akan terasa resah, jika kita hanya bisa menginginkan apapun yang orang lain punya” sejak itu gue berubah. Nadine yang ngerubah gue jadi kayak gini. Dia sahabat yang paling baik, gue kangen dia.” Tangis Tiara pun meledak.
                Albert dan Ridho yang paling nggak bisa ngeliat cewek nangis, langsung kebingungan mencari cara untuk menenangkan Tiara. “Jangan nangis ya, Ra.. Nadine pasti balik kok. Kamu sabar dulu, tadi kan Dewi bilang Nadine baik-baik aja.” Kata Albert yang terus mengelus rambut Tiara. Sedangkan Ridho justru bingung harus ngapain. Kalau ikut mengelus rambut Tiara kan nggak mungkin. Albert pacar Tiara, bisa-bisa jadi tambah ribet. Akhirnya Ridho hanya bisa diam.
                Aku datang membawa empat gelas minuman dan menaruhnya diatas meja. Dengan segera aku memberikan segelas air mineral kepada Tiara. “Nih, minum. Biar kamu tenang.” Mendapatkan segelas air mineral dari aku, justru membuat Tiara tambah menangis.
“Huhuhuuu... dulu..dulu waktu gue kecil, kalau gue nangis.. bokap selalu ngasih gue air mineral.. katanya biar gue tenang.. huhuuuu... gue jadi kangen papa....” semua panik melihat Tiara yang semakin menangis. Baru kali ini mereka melihat Tiara menangis begitu sedih, seakan meluapkan isi hatinya saat ini. Melihat Tiara yang terus menangis, aku pun ikut mengeluarkan air matanya. Dan yang kulakukan ini justru menambah panik Ridho dan Albert.
“Aku tau apa yang kamu rasain sekarang, Ra. Aku juga kangen sama Nadine, aku juga kangen sama papa. Papa ninggalin aku sama mama sejak umur kandungan mama tujuh bulan. Aku nggak tau gimana rasanya punya papa? Gimana rasanya dapat kasih sayang dari seorang papa? Gimana rasanya dibeliin boneka atau mainan sama papa? Gimana rasanya digendong papa? Bahkan aku nggak tau gimana  rasanya dipeluk papa? Dibacain buku cerita kalau mau tidur, atau pun diantar kesekolah sama papa? Aku nggak pernah ngerasain itu semua. Aku hanya bisa melihat foto papa.”
                Suasana menjadi hening mendengar perkataan ku. “Eh, kok aku jadi curhat gini sih? Maaf ya?” cepat-cepat aku menghapus air mata ku. Dan menampakkan lagi senyum ku.

0 komentar:

Posting Komentar