Dewi
Udara dingin
menusuk hingga terasa sampai ke tulang. Jaket tebal pun tak mampu menahan udara
dingin yang terus menusuk. Sudah tiga hari aku sakit. Dan tidak ikut dalam
mencari informasi tentang Nadine. Hujan deras mengguyur Jakarta, sangat tidak
mungkin jika ada yang berkunjung saat hujan begini. Tapi sedari tadi, bel rumah
ku berbunyi. Dengan sekuat tenaga, aku membawa tubuh ku untuk berjalan membuka
pintu. Perlahan pintu ku terbuka, mata ku terbelalak melihat kedatangannya..
...........
“Lo udah nggak papa, Wi?”
“Emm.. masih demam sih. Tapi ya..
udah mendingan kok.”
“Emm.. bagus deh. Kita mau lo
jujur, Wi.”
Jantung ku berdegub mendengar
perkataan terakhirnya. “Maksudnya?”
“Kita semua mau lo jujur, Wi. Lo
pasti tau dimana Nadine kan?” aku hanya termenung mendengarnya. “Wi, please..
gue tau elo. Lo nggak pernah bohong selama ini, tapi kali ini gue yakin lo tau
dimana Nadine.” Lanjut Ridho.
“Kalian bener. Dewi tau Nadine
ada dimana. Nadine yang minta Dewi rahasikan ini, Nadine takut kalian sedih.”
Terpaksa aku memberitahu semuanya.
“Jadi? Nadine yang nyuruh lo?
Tega banget sih.. Dia nggak tau apa kalau kita khawatir?” Tiara ikut marah
mendengar jawaban ku barusan.
“Kamu jangan marah dulu, aku mau
kasih tau yang sebenarnya.”
Aku
menghela nafas berkali-kali. Takut ini kesalahan terbesar yang pernah ku
lakukan. Wajah Ridho, Tiara, dan Albert pun tampak bertanya-tanya.
Ingatan ku kembali pada memori
dulu.. Aku pun mulai bercerita..
...........
Suasana ramai tak sedikit pun
terasa bagi Dewi yang sedari tadi duduk termunung dibangku taman sekolah.
“Heh!!
Anak cupu!” Tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Dengan cepat ia menoleh.
“Chaca?
Apa aku ada salah sama kamu?” tanya Dewi
pelan.
“Ya
jelas lah! Berani banget lo ngalahin gue dikejuaraan. Anak cupu kayak lo tuh, gak
pantes dapetin kemenangan itu! Ya nggak teman-teman?” tanya Chaca pada
teman-temannya.
“Iya
bener tuh, Cha. Masa sih lo mau dikalahin sama dia?” tambah salah satu
temannya.
“Hajar
aja, Cha. Mungkin tadi dia curang, makanya lo kalah.” Lanjut teman disebelah
Chaca.
“Tapi
aku nggak curang..”jawab Dewi ketakutan.
Tanpa mendengar lagi alasan dari
Dewi, Chaca sudah melayangkan tangannya. Tiba-tiba... terlihat sosok
gadis cantik dibelakang Dewi yang
menyandarkan tubuhnya ke dinding.
“Buat
ngelawan satu anak yang lo anggap cupu
aja, lo bawa teman. Hhh.. Beraninya keroyokkan. Lo takut kalah lagi? Empat
lawan satu? Sebenarnya yang cupu itu elo semua atau Dewi sih?” kata-kata Nadine
cukup membuat Chaca menghentikan tangannya sebelum sampai di pipi Dewi.
“Lo
lagi. Ngapain sih lo disini?” tanya Chaca kesal.
“Lho?
Ini kan sekolah gue juga, ya gue belajar lah disini. Nggak tau deh kalau lo
sama teman lo itu, belajar atau cuma main disini?” jawab Nadine santai.
Chaca menghela nafas kesal.
Ketiga temannya pun sudah menampakkan wajah ketakutan saat melihat Nadine
cewek paling populer di SMP tersebut.
“Mending
lo jauh-jauh deh! Jangan pernah lo gangguin
orang lain selagi masih ada gue disini!” lanjut Nadine. Dengan menyimpan rasa
sebal, Chaca dan ketiga temannya pergi dari taman dengan menghentak-hentak kaki tanda kesal sambil memelototi Dewi.
“Lo
belum diapa-apain kan?” tanya Nadine setelah mendekati Dewi.
“Aku
nggak apa-apa kok. Makasih ya.. aku tau kamu baik. Kamu nggak kayak Chaca, yang
memanfaatkan kepopularitasnya buat gangguin orang lain.” Jawab Dewi pelan.
Nadine
hanya tersenyum mendengar perkataan Dewi.
“Tau apa lo tentang gue?”
“Emm..
Dewi nebak aja.” Jawab Dewi terbata-bata.
“Lo
nggak salah kok, Chaca aja tuh yang
rese. Dia orangnya emang begitu, tapi sebenernya dia baik kok. Mungkin dia cuma
kaget aja dengan kehadiran kamu disini. Chaca selalu menang kejuaran Taekwondo
semenjak kelas tujuh, tapi aku salut sama kamu.. kamu bisa ngalahin Chaca
dengan mudah.”
“Aku
tau kamu jujur, tapi kemenangan itu...” jawab Dewi dengan perlahan, tapi dengan
cepat Nadine memotongnya.
“Aku
tau kemampuan kamu.. kenapa kamu nggak mencoba berubah? Aku paling nggak suka
ngeliat Chaca yang selalu menghina atau
pun mencibir orang lain.”
“Kamu
tau aku bisa..?” Nadine pun hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Gue
tau itu sejak lo pindah ke sekolah ini, dan saat pertandingan mata lo nggak
pernah lepas natap Chaca. Itu bahaya banget buat seorang pemula. Tapi anehnya,
lo bisa ngebaca semua gerakan Chaca. Jadi tebakkan gue bener kan? Lo bisa baca
fikiran orang lain cuma dengan ngeliat matanya? Lo hebat, gue aja sampe beli
cemilan yang banyak buat iseng-inseng
sambil ngeliat penampilan lo.”
“Tapi
Chaca takut sama kamu. Aku bisa lihat itu.”
“Lo
emang bener, tapi gue nggak bisa ngubah
sifatnya. Dia keras kepala.”
“Trus
apa yang harus aku lakukan? Mereka selalu mencibir aku.”
“Rubah
penampilan lo! Gue nggak suka lo dibilang cupu. Gue akan bantu lo, lo percaya
sama gue kan?”
“Aku
tau kamu jujur, Nad.”
Senyuman
tulus terlukis dibibir Nadine. “Jadi.. kita teman ya?”
“Kamu
...?”
“Kenapa?
Lo nggak mau jadi sahabat gue ya?” Nadine menampakkan wajah kecewa.
“Nggak,
bukan gitu.. aku mau banget. Makasih ya..” Dewi yang gembira langsung memeluk
Nadine.
“Jadi? Lo
bisa baca fikiran? Cuma dengan ngeliat mata? Cool..” puji Ridho takjub.
Aku pun hanya mengangguk pelan.
“Semenjak itu, penampilan ku berubah. Semua kaget melihat aku dengan penampilan
baru. Dan Nadine memang benar, semua nggak lagi mencibir aku.”
“Itu foto kecil lo? Dan ini
sekarang lo.. emang jauh beda.” Tiara ikut memuji. “Beda banget. Disini lo....
maaf ya? Tapi lo cupu banget. Dan lihat lo sekarang, lo cantik, manis. Ternyata
Nadine lebih hebat dari yang gue kira.”
“Aku tau kamu jujur..” aku
tersenyum lembut kearah Tiara.
“Iya, lo jauh beda banget.
Sumpah.. jauh banget.” Tambah Albert.
“Apa kalian akan ngejauhin aku?”
tanya ku pelan. Semua menatap ku dengan serius. “Kenapa kalian ngelihat aku
kayak gitu?”
“Biar lo bisa baca fikiran kita.
Kalau kita tuh tulus temenan sama lo.” Jawab Tiara yang langsung memeluk ku.
“Iya..” jawab Ridho dan Albert berbarengan.
“Tapi aku lihat, kamu ...”
“Kenapa? Kenapa sama fikiran
gue?” tanya Ridho ketakutan sambil memegangi kepalanya.
“Kamu suka kan sama Nadine? Udah
lama, sejak awal Nadine pindah sekolah ke SMA kita.” Jawab Dewi sambil tersenyum.
“Wah, man. Ternyata lo suka sama
Nadine? Jadi cewek yang selama ini lo curhatin ke gue itu Nadine?” tanya Albert
sambil mengelengkan kepala pada Ridho. Ridho hanya cengengesan mendapat
pertanyaan dari Albert.
“Tapi sekarang gue khawatir
banget sama Nadine. Dimana dia sekarang, Wi?” dengan cepat tampang Ridho
berubah.
“Aku nggak bisa kasih tau kalian.
Aku nggak mau menghancurkan kepercayaan Nadine ke aku. Nadine cuma bilang,
kalau dia baik-baik aja.” Jawab ku pelan. Tiba-tiba Tiara mengeluarkan air mata
yang sedari tadi wajahnya ditutupi bantal.
“Gue kangen Nadine.. dia
satu-satunya orang yang bisa bikin gue berubah. Bahkan orang tua gue pun nggak
bisa nasehatin gue. Nyokap yang selalu kerja buat memenuhi kebutuhan gue dan
nyokap. Sedangkan bokap gue? Nggak tau kemana. Bokap ninggalin gue gitu aja dan
pergi sama wanita lain. Sejak itu gue nggak suka ngelihat orang lain bahagia.
Gue selalu ngeganggu orang lain. Tapi sejak ada Nadine di sekolah kita, dia
yang selalu nyemangatin gue walaupun awalnya gue benci dia. Dia selalu
mencampuri urusan gue. Dia pernah bilang “Hidup
akan terasa indah, jika kita bisa mensyukuri apapun yang kita punya. Tapi..
hidup akan terasa resah, jika kita hanya bisa menginginkan apapun yang orang
lain punya” sejak itu gue berubah. Nadine yang ngerubah gue jadi kayak
gini. Dia sahabat yang paling baik, gue kangen dia.” Tangis Tiara pun meledak.
Albert
dan Ridho yang paling nggak bisa ngeliat cewek nangis, langsung kebingungan
mencari cara untuk menenangkan Tiara. “Jangan nangis ya, Ra.. Nadine pasti
balik kok. Kamu sabar dulu, tadi kan Dewi bilang Nadine baik-baik aja.” Kata
Albert yang terus mengelus rambut Tiara. Sedangkan Ridho justru bingung harus
ngapain. Kalau ikut mengelus rambut Tiara kan nggak mungkin. Albert pacar
Tiara, bisa-bisa jadi tambah ribet. Akhirnya Ridho hanya bisa diam.
Aku
datang membawa empat gelas minuman dan menaruhnya diatas meja. Dengan segera
aku memberikan segelas air mineral kepada Tiara. “Nih, minum. Biar kamu
tenang.” Mendapatkan segelas air mineral dari aku, justru membuat Tiara tambah
menangis.
“Huhuhuuu... dulu..dulu waktu gue
kecil, kalau gue nangis.. bokap selalu ngasih gue air mineral.. katanya biar
gue tenang.. huhuuuu... gue jadi kangen papa....” semua panik melihat Tiara
yang semakin menangis. Baru kali ini mereka melihat Tiara menangis begitu
sedih, seakan meluapkan isi hatinya saat ini. Melihat Tiara yang terus
menangis, aku pun ikut mengeluarkan air matanya. Dan yang kulakukan ini justru
menambah panik Ridho dan Albert.
“Aku tau apa
yang kamu rasain sekarang, Ra. Aku juga kangen sama Nadine, aku juga kangen
sama papa. Papa ninggalin aku sama mama sejak umur kandungan mama tujuh bulan.
Aku nggak tau gimana rasanya punya papa? Gimana rasanya dapat kasih sayang dari
seorang papa? Gimana rasanya dibeliin boneka atau mainan sama papa? Gimana
rasanya digendong papa? Bahkan aku nggak tau gimana rasanya dipeluk papa? Dibacain buku cerita
kalau mau tidur, atau pun diantar kesekolah sama papa? Aku nggak pernah
ngerasain itu semua. Aku hanya bisa melihat foto papa.”
Suasana
menjadi hening mendengar perkataan ku. “Eh, kok aku jadi curhat gini sih? Maaf
ya?” cepat-cepat aku menghapus air mata ku. Dan menampakkan lagi senyum ku.
Label: Karya Gue