Senin, 21 Januari 2013

lanjutan ke-2 C.E.V.E

Ternyata hal yang ku khawatirkan tidak terjadi. Aku mendapatkan dua kabar baik dan satu kabar buruk yang berevolusi menjadi kabar baik. Kalau ditanya ingin mengetahui yang mana terlebih dahulu? Aku akan menjawab ‘yang mana aja juga boleh dengan senyuman termanisku’. Toh, kabar buruk itu kan berubah menjadi kabar baik bagi ku.

Kabar baik dihari pertama masuk sekolah adalah Bu Dias terpilih sebagai wali kelas ku dan kelas kami kedatangan siswa baru yang bernama Evan Nathaniel Dellys. Dari wajahnya saja sudah ketahuan kalau dia itu blasteran, ditambah namanya yang mendukung. Dia tampak dingin, namun cool (kata orang-orang). Apalagi saat dia tersenyum sambil memperkenalkan dirinya didepan kelas. “Wah.. manis banget.” Dengan kompak siswa perempuan dikelasku memuji. Kecuali aku dan Faula. “Tumben Faula ngeliat yang bening diam aja, biasanya udah ngomong panjang lebar” batin ku.
 “Kayaknya sekarang Pano bakal punya saingan nih?” kataku pada Faula, dan Faula masih larut dalam dunianya sendiri. “Evan? Perasaan gue nggak asing sama nama itu. Nama itu ngingetin gue sama dia. Gimana ya dia disana? Andai dia masih ada disini, dia pasti tau apa yang gue rasain saat ini” batin Faula. Akupun kesal, karena tidak dihiraukannya “Paul, Lo gak dengerin gue ya?” kataku sambil mencubit pinggangnya
“Awww.. Sakit tau!” Faula memonyongkan bibirnya tanda tidak terima atas perlakuanku. Aku hanya nyengir membalasnya.
“Kayaknya sekarang Pano bakal punya saingan nih?” lanjutnya. Akupun menggangguk menyetujuinya, tapi tunggu… bukannya itu pertanyaanku tadi ya? Huh, dasar Paul!
 Distira, cowok populer dan selalu didekati cewek-cewek. Distira emang tampan, juga baik, cerdas, mudah bergaul dan sopan. Selera humornya juga tinggi. Apalagi ditambah dia jago judo dan basket. Itu semua menambah nilai plus dalam dirinya. Bukan hanya perempuan yang menyukainya, bahkan guru-guru juga selalu memuji Distira. Yang pasti bukan jatuh cinta, tapi memuji Distira sebagai siswa teladan yang patut dicontoh. Dan secara langsung Distira menduduki jabatan sebagai ketua kelas di kelas kami tanpa mempunyai saingan. Hebat kan? Loh kok aku jadi muji dia lebay gini sih.
                Balik kekabar buruk. Kabar buruk itu adalah Gadis masuk kelas ku. Dan kini kelasku berjumlah tiga puluh enam siswa. Tapi saat-saat yang ku khawatirkan tidak terjadi. Ternyata Gadis itu orangnya kalem. Tapi cerewetnya suka kambuh kalau lagi gerogi. Dia sendiri yang bilang padaku saat istirahat. Dia bilang saat aku memberikannya tisu waktu itu, dia kaget dan langsung gerogi melihatku. Katanya sih karena wajah ku yang tampak seperti bidadari penolong baginya. Lebaynya mulai deh. Tapi gak apa-apa sih, makasih udah dibilang bidadari. Hehe..
               
...................

                Teriknya matahari membuat sibuk para pemilik kaki yang berkeliaran mencari tempat untuk berteduh dan berharap mendapatkan sedikit perlindungan dari sangarnya terik matahari. Padahal sekarang musim hujan, tapi anehnya hujan tak urung datang. Bel pulang sekolah sudah berbunyi satu jam yang lalu. Tapi hal itu tidak membuat suasana SMA Elzavia sepi sedikit pun. Hari ini diadakan pertandingan basket antara Tim Putih yang dipimpin Distira melawan Tim Merah yang dipimpin Evan. Inilah alasan kuat mengapa SMA Elzavia masih saja terlihat ramai walaupun bel pulang sudah berbunyi. Itu semua karena ada dua cowok populer yang sedang beraksi ditengah lapangan.
“Panas banget sih. Kalo bukan karena sahabat gue yang beraksi, males deh gue nontonnya.” Keluh Faula yang terlihat sibuk ikut mencari sedikit angin dari buku yang digerakkannya. Aku tidak menghiraukan perkataan Faula. Aku terus bersorak menyemangati Distira bersama teman kelasku lainnya, tapi berhubung Distira dan Evan teman kelas kami. Pendukung pun dibagi menjadi dua. Seperti mendapatkan cadangan tenaga, tim yang dipimpin Distira terus mencetak angka padahal lagi terik begini. Walau agak geregetan melihatnya, jujur aku pengen banget ikut main. Tapi nggak mungkin. Aku kan cewek, masa ikut main sama cowok? Jadi, untuk melampiaskan perasaan ku, aku hanya berteriak-teriak menyemangati Distira.
“Ceree, udah dong! Nanti lagi teriaknya. Bikin polusi suara tau.” Faula yang merasa terganggu dengan teriakan ku, melakukan protes. Faula memiliki prinsip dalam keadaan lelah lebih baik diam untuk mengumpulkan tenaga.
“Hehehe.. abis geregetan. Rasanya pengen ikut main nih gue.” Aku cuma bisa nyengir mendengar sahabatku yang satu ini protes. “Oh iya, tumben lo nggak baca buku. Biasanya lo nunggu Pano sama gue main basket sambil baca buku?” lanjutku.
“Yee... nggak liat apa keringat gue netes terus?” jawab Faula sedikit keras karena keadaan sekitar memang sedang berisik.
“Aduh, bikin polusi suara aja.” Jawab ku sambil menutupi telinga kiri ku.
Faula melengos mendengar jawabanku. ‘Itu kan kata-kata gue barusan?’ batin Faula. Aku hanya nyengir melihatnya. Hehe.. kena deh lo. Satu sama. Batin ku.
Aku kembali memberi dukungan pada Distira. Dan aku berharap Tim Distira yang menang. Walau ini cuma pertandingan biasa, tetap aja aku nggak mau melihat Evan yang menang. Tampangnya cukup sombong menurut ku, bukan cool seperti yang dibilang kebanyakkan orang. Prince snow white adalah julukan baru dari penggemar berat Evan, untuk Evan yang asli kelakuannya dingin sedingin salju (cool). Tapi jujur sih, aku terpesona pada pandangan pertama. Hehe.. tapi kalau ngeliat tampangnya yang kayak gitu, ih amit-amit deh.
Sepertinya keberuntungan memang memihak kepada Distira, karena pada akhir babak permainan Tim yang dipimpin Distira memenangi permainan dengan angka yang beda tipis dengan Tim Evan. Sorak-sorai pendukung Distira pun terdengar. Tapi tak sedikit juga yang bersedih karena melihat idolanya (Evan) kalah. Dengan sportifnya Tim yang dipimpin Evan memberi selamat pada Tim pemenang (Kayak kejuaraan antar club aja). Setelah memastikan Evan tidak ada dilapangan, aku berlari menghampiri Distira. Distira yang melihatku berlari menghampirinya, reflek merentangkan tangannya dengan posisi ingin memeluk ku. Dengan kekuatan kaki ku untuk mengerem, aku berhasil berhenti sebelum Distira meraihku kedalam pelukkannya.
“Stop! Jangan peluk gue! Liat tuh keringat lo, Iyuh..” aku menyetop Distira dengan tangan ku dan memasang tampang jijik melihatnya.
“Hahahahh... tapi nggak bau kok. Serius.” Distira kaget melihat tindakkan ku, dan langsung mengacak-ngacak rambutku. “Paul mana?” tanya Distira.
“Itu tuh..” jawab ku sambil menunjuk Faula dengan dagu.
“Aduh.. lo main lama banget sih boy, panas nih. Untung lo menang. Kalo nggak? Bisa sebel setengah hidup gue sama lo. Gue merasa di PHP-in. Katanya ramalan cuaca hari ini bakal hujan, tapi mana? Nggak hujan-hujan tuh dari tadi?” Sesampainya didekat Chintya dan Distira, Faula langsung nyerocos kesal.
Aku dan Distira cuma bisa nyengir mendengar Faula marah-marah.
“Paul..Paul.. ngomel mulu deh.” Kataku sambil cekikikkaan bersama Distira.
Faula hanya diam sambil terus berusaha mengumpulkan angin sebanyak-banyaknya.
“Yaudah, maaf deh.” Distira tersenyum melihat Faula kepanasan.
“Enak aja maaf, traktir dong! Kan lo menang.” Jawab Faula.
“Iya, setuju. Mau... strawberry ice cream mama ya?” Jawabku ikut mendukung.
“Yah, tau gitu mending tadi kalah aja.” Jawab Distira pura-pura bete.
“Yah... ayo dong Pano.. masa pelit banget sih? Strawberry ice cream mama aja deh, atau chocolate ice cream mama? Apa aja deh, yang penting ice cream cafe mama. Ya? Ya?” bujuk ku. Tapi Distira masih saja diam, pura-pura berfikir.
“Ah.. kelamaan. Udah tarik aja, Ciinn!” perintah Faula yang gak tahan dengan terik matahari ditengah lapangan.
“Iya nih, kelamaan deh. Ayo, Pano!” Aku menuruti perintah Faula dan langsung menarik-narik tangan Distira.
“Tunggu. Kitakan makan di cafe tante, kenapa nggak lo aja yang bayar sih?” tanya Distira padaku.
“Nggak bisa. Harus lo yang bayar. Lo kan menang, lagian kasian kan tante kalo cafenya kita kunjungin hampir setiap hari? Trus makannya gratis lagi. Kan tante juga butuh duit buat ngidupin cere, bahagiain cere, terus kalau misalnya cere nggak punya duit gue gak bisa hangout dong bareng dia? terus engg.....” jawab Faula panjang lebar.
“Iya tuh bener, nanti mama gulung tikar lagi. Ih amit-amit deh.” Selaku, sambil mengetuk kepala dan telapak tangan bergantian. Faula merengut kesal kearahku karena omongannya disela, padahal dia sudah membantuku untuk membujuk Distira. Aku dan Distira hanya tertawa menanggapinya
“Oke. Gue yang bayar. Tapi ngutang ya?” ledek Distira.
Aku dan Faula hanya melotot kearahnya. Sambil cengengesan, akhirnya Distira menyutujui dan segera berlari kepinggir lapangan. Tapi dia malah sibuk mondar-mandir dipinggir lapangan.
“Pano.. lo ngapain?” tanya ku heran.
“Sssttttt... udah biarin aja! Nih.” Faula menunjukkan tas Distira yang sedari tadi telah dipegangnya, tapi Distiranya aja yang nggak sadar.
“Tas gue mana ya? Perasaan gue taro disini.” Tanya Distira setengah berteriak pada ku dan Faula yang berada ditengah lapangan sambil tersenyum menatahan tawa.
“Hemm.. pantes aja nggak ketemu. Dasar.” Distira yang menyadarinya, langsung berlari ketengah lapangan.

.................

                Sabtu pagi. Jadwal dimana aku dan Distira melakukkan jogging. Biasanya kami hanya berkeliling komplek perumahan dan beristirahat ditaman. Tapi itu cukup melelahkan, karena komplek rumah kami yang luas. Aku melirik kearah jam beker diatas meja. Masih jam lima. Batin ku.
Dengan sepenuh tenaga yang ku punya saat ini. Aku berusaha mengumpulkan kesembilan nyawaku secara pelahan. Kaki ku melangkah dengan sendirinya menuju kamar mandi. Aku bersiap diri, tak lupa juga aku melaksanakan ibadah sholat subuh. Setelah semuanya siap, aku berjalan menuju pintu balkon kamarku. Ku buka pintu itu perlahan. Segarnya udara pagi dan cerahnya langit menyambut ku. Ditambah dengan beberapa burung yang berbaris dan bersenandung ria didahan pohon, seakan membentuk paduan suara yang merdu.
                Aku menebarkan pandanganku disekitar komplek. Penglihatanku berhenti dan tertuju kearah taman yang berada agak jauh dari rumahku. Khayalanku pun kembali ke masa lalu, dimana aku masih berusia lima tahun.

selanjutnya >>

0 komentar:

Posting Komentar