Ternyata hal yang ku khawatirkan
tidak terjadi. Aku mendapatkan dua kabar baik dan satu kabar buruk yang
berevolusi menjadi kabar baik. Kalau ditanya ingin mengetahui yang mana
terlebih dahulu? Aku akan menjawab ‘yang mana aja juga boleh dengan senyuman
termanisku’. Toh, kabar buruk itu kan berubah menjadi kabar baik bagi ku.
Kabar baik dihari pertama masuk
sekolah adalah Bu Dias terpilih sebagai wali kelas ku dan kelas kami kedatangan
siswa baru yang bernama Evan Nathaniel Dellys. Dari wajahnya saja sudah
ketahuan kalau dia itu blasteran, ditambah namanya yang mendukung. Dia tampak
dingin, namun cool (kata orang-orang). Apalagi saat dia tersenyum sambil
memperkenalkan dirinya didepan kelas. “Wah.. manis banget.” Dengan kompak siswa
perempuan dikelasku memuji. Kecuali aku dan Faula. “Tumben Faula ngeliat yang
bening diam aja, biasanya udah ngomong panjang lebar” batin ku.
“Kayaknya sekarang Pano bakal punya saingan nih?” kataku pada Faula,
dan Faula masih
larut dalam dunianya sendiri. “Evan? Perasaan gue nggak asing sama nama
itu. Nama itu ngingetin gue sama dia. Gimana ya dia disana? Andai dia masih ada
disini, dia pasti tau apa yang gue rasain saat ini” batin Faula. Akupun kesal, karena tidak dihiraukannya “Paul, Lo gak dengerin gue ya?” kataku sambil
mencubit pinggangnya
“Awww..
Sakit tau!” Faula memonyongkan bibirnya tanda tidak terima atas perlakuanku.
Aku hanya nyengir membalasnya.
“Kayaknya
sekarang Pano bakal punya saingan nih?” lanjutnya.
Akupun menggangguk menyetujuinya, tapi tunggu… bukannya itu pertanyaanku tadi ya? Huh, dasar Paul!
Distira, cowok populer dan selalu didekati
cewek-cewek. Distira emang tampan, juga baik, cerdas, mudah bergaul dan sopan. Selera
humornya juga tinggi. Apalagi ditambah dia jago judo dan basket. Itu semua
menambah nilai plus dalam dirinya. Bukan hanya perempuan yang menyukainya, bahkan guru-guru
juga selalu memuji Distira. Yang pasti bukan jatuh cinta, tapi memuji Distira
sebagai siswa teladan yang patut dicontoh. Dan secara langsung Distira menduduki jabatan sebagai ketua kelas di
kelas kami tanpa mempunyai saingan. Hebat kan? Loh kok aku jadi muji dia lebay
gini sih.
Balik
kekabar buruk. Kabar buruk itu adalah Gadis masuk kelas ku. Dan kini kelasku
berjumlah tiga puluh enam siswa. Tapi saat-saat yang ku khawatirkan tidak
terjadi. Ternyata Gadis itu orangnya kalem. Tapi cerewetnya suka kambuh kalau
lagi gerogi. Dia sendiri yang bilang padaku saat istirahat. Dia bilang saat aku
memberikannya tisu waktu itu, dia kaget dan langsung gerogi melihatku. Katanya
sih karena wajah ku yang tampak seperti bidadari penolong baginya. Lebaynya
mulai deh. Tapi gak apa-apa sih,
makasih udah dibilang bidadari. Hehe..
...................
Teriknya
matahari membuat sibuk para pemilik kaki yang berkeliaran mencari tempat untuk
berteduh dan berharap mendapatkan sedikit perlindungan dari sangarnya terik
matahari. Padahal sekarang musim hujan, tapi anehnya hujan tak urung datang. Bel
pulang sekolah sudah berbunyi satu jam yang lalu. Tapi hal itu tidak membuat
suasana SMA Elzavia sepi sedikit pun. Hari ini
diadakan pertandingan basket antara Tim Putih yang dipimpin Distira melawan Tim
Merah yang dipimpin Evan. Inilah alasan kuat mengapa SMA Elzavia masih saja
terlihat ramai walaupun bel pulang sudah berbunyi. Itu semua karena ada dua
cowok populer yang sedang beraksi ditengah lapangan.
“Panas
banget sih. Kalo bukan karena sahabat gue yang beraksi, males deh
gue nontonnya.” Keluh Faula yang terlihat sibuk ikut mencari sedikit angin dari
buku yang digerakkannya. Aku tidak menghiraukan perkataan
Faula. Aku terus bersorak menyemangati Distira bersama teman kelasku lainnya,
tapi berhubung Distira dan Evan teman kelas kami. Pendukung pun dibagi menjadi
dua. Seperti mendapatkan cadangan tenaga, tim yang dipimpin Distira terus
mencetak angka padahal lagi terik begini. Walau agak geregetan melihatnya,
jujur aku pengen banget ikut main. Tapi nggak mungkin. Aku kan cewek, masa ikut
main sama cowok? Jadi, untuk melampiaskan perasaan ku, aku hanya
berteriak-teriak menyemangati Distira.
“Ceree, udah
dong! Nanti lagi teriaknya. Bikin polusi suara tau.” Faula yang merasa
terganggu dengan teriakan ku, melakukan protes. Faula memiliki prinsip dalam
keadaan lelah lebih baik diam untuk mengumpulkan tenaga.
“Hehehe..
abis geregetan. Rasanya pengen ikut main nih gue.” Aku cuma bisa nyengir
mendengar sahabatku yang satu ini protes. “Oh iya, tumben lo nggak baca buku. Biasanya lo nunggu Pano sama
gue main basket sambil baca buku?” lanjutku.
“Yee... nggak liat apa keringat gue netes terus?” jawab
Faula sedikit keras karena keadaan sekitar memang sedang berisik.
“Aduh, bikin
polusi suara aja.” Jawab ku sambil menutupi telinga kiri ku.
Faula melengos mendengar
jawabanku. ‘Itu kan kata-kata gue barusan?’ batin Faula. Aku hanya nyengir
melihatnya. Hehe.. kena deh lo. Satu sama. Batin ku.
Aku kembali memberi dukungan pada
Distira. Dan aku berharap Tim Distira yang menang. Walau ini cuma pertandingan
biasa, tetap aja aku nggak mau melihat Evan yang menang. Tampangnya cukup
sombong menurut ku, bukan cool seperti yang dibilang kebanyakkan orang. Prince snow white
adalah julukan baru dari
penggemar berat Evan, untuk Evan yang asli kelakuannya dingin sedingin salju (cool). Tapi jujur sih, aku terpesona pada
pandangan pertama. Hehe.. tapi kalau ngeliat tampangnya yang kayak gitu, ih
amit-amit deh.
Sepertinya
keberuntungan memang memihak kepada Distira, karena pada akhir babak permainan
Tim yang dipimpin Distira memenangi permainan dengan angka yang beda tipis
dengan Tim Evan. Sorak-sorai pendukung Distira pun terdengar. Tapi tak sedikit
juga yang bersedih karena melihat idolanya (Evan) kalah. Dengan sportifnya Tim
yang dipimpin Evan memberi selamat pada Tim pemenang (Kayak kejuaraan
antar club aja). Setelah memastikan Evan tidak ada
dilapangan, aku berlari menghampiri Distira. Distira yang melihatku berlari
menghampirinya, reflek merentangkan tangannya dengan posisi
ingin memeluk ku. Dengan kekuatan kaki ku untuk mengerem, aku berhasil berhenti
sebelum Distira meraihku kedalam pelukkannya.
“Stop!
Jangan peluk gue! Liat tuh keringat lo, Iyuh..” aku menyetop Distira dengan
tangan ku dan memasang tampang jijik melihatnya.
“Hahahahh...
tapi nggak bau kok. Serius.” Distira kaget melihat tindakkan ku, dan langsung mengacak-ngacak
rambutku. “Paul mana?” tanya Distira.
“Itu tuh..”
jawab ku sambil menunjuk Faula dengan dagu.
“Aduh.. lo
main lama banget sih boy, panas nih. Untung lo menang. Kalo nggak? Bisa sebel
setengah hidup gue sama lo. Gue merasa di PHP-in. Katanya ramalan cuaca hari
ini bakal hujan, tapi mana? Nggak
hujan-hujan tuh dari tadi?” Sesampainya didekat Chintya dan Distira, Faula
langsung nyerocos kesal.
Aku dan Distira cuma bisa nyengir
mendengar Faula marah-marah.
“Paul..Paul..
ngomel mulu deh.” Kataku sambil cekikikkaan bersama Distira.
Faula hanya diam sambil terus
berusaha mengumpulkan angin sebanyak-banyaknya.
“Yaudah,
maaf deh.” Distira tersenyum melihat Faula kepanasan.
“Enak aja
maaf, traktir dong! Kan lo menang.” Jawab Faula.
“Iya, setuju.
Mau... strawberry ice cream mama ya?” Jawabku ikut mendukung.
“Yah, tau
gitu mending tadi kalah aja.” Jawab Distira pura-pura bete.
“Yah... ayo
dong Pano.. masa pelit banget sih? Strawberry ice cream mama aja deh, atau chocolate
ice cream mama? Apa aja deh, yang penting ice cream cafe mama. Ya? Ya?” bujuk
ku. Tapi Distira masih saja diam, pura-pura berfikir.
“Ah..
kelamaan. Udah tarik aja, Ciinn!” perintah
Faula yang gak tahan dengan terik matahari ditengah lapangan.
“Iya nih,
kelamaan deh. Ayo, Pano!” Aku menuruti perintah Faula
dan langsung menarik-narik tangan Distira.
“Tunggu.
Kitakan makan di cafe tante, kenapa nggak lo aja yang bayar sih?” tanya Distira padaku.
“Nggak bisa.
Harus lo yang bayar. Lo kan menang, lagian kasian kan tante kalo cafenya kita
kunjungin hampir setiap hari? Trus makannya gratis lagi. Kan tante juga butuh
duit buat ngidupin cere, bahagiain cere,
terus kalau misalnya cere nggak punya duit gue gak bisa hangout dong bareng
dia? terus
engg.....” jawab Faula panjang lebar.
“Iya tuh
bener, nanti mama gulung tikar lagi. Ih amit-amit deh.” Selaku, sambil mengetuk kepala dan telapak tangan
bergantian. Faula
merengut kesal kearahku karena omongannya disela, padahal dia sudah membantuku untuk membujuk Distira.
Aku dan Distira hanya tertawa menanggapinya
“Oke. Gue
yang bayar. Tapi ngutang ya?” ledek Distira.
Aku dan Faula hanya melotot
kearahnya. Sambil cengengesan, akhirnya Distira menyutujui dan segera berlari
kepinggir lapangan. Tapi dia malah sibuk mondar-mandir dipinggir lapangan.
“Pano.. lo
ngapain?” tanya ku heran.
“Sssttttt...
udah biarin aja! Nih.” Faula menunjukkan tas Distira yang sedari tadi telah
dipegangnya, tapi Distiranya aja yang nggak sadar.
“Tas gue
mana ya? Perasaan gue taro disini.” Tanya Distira setengah berteriak pada ku
dan Faula yang berada ditengah lapangan sambil tersenyum menatahan tawa.
“Hemm..
pantes aja nggak ketemu. Dasar.” Distira yang menyadarinya, langsung berlari
ketengah lapangan.
.................
Sabtu
pagi. Jadwal dimana aku dan Distira melakukkan jogging. Biasanya kami hanya berkeliling komplek perumahan dan
beristirahat ditaman. Tapi itu cukup melelahkan, karena komplek rumah kami yang
luas. Aku melirik kearah jam beker diatas meja. Masih jam lima. Batin ku.
Dengan sepenuh tenaga yang ku
punya saat ini. Aku berusaha mengumpulkan kesembilan nyawaku secara pelahan.
Kaki ku melangkah dengan sendirinya menuju kamar mandi. Aku bersiap diri, tak
lupa juga aku melaksanakan ibadah sholat subuh. Setelah semuanya siap, aku
berjalan menuju pintu balkon kamarku. Ku buka pintu itu perlahan. Segarnya
udara pagi dan cerahnya langit menyambut ku. Ditambah dengan beberapa burung
yang berbaris dan bersenandung ria didahan pohon, seakan membentuk paduan suara
yang merdu.
Aku
menebarkan pandanganku disekitar komplek. Penglihatanku berhenti dan tertuju kearah
taman yang berada agak jauh dari rumahku. Khayalanku pun kembali ke masa lalu,
dimana aku masih berusia lima tahun.
selanjutnya >>
selanjutnya >>
Label: Cerita Bersambung