Awal bulan Juli. Awal bulan dimana globalisasi baru saja membuat langit menumpahkan
hujan tak kenal waktu. Karena adanya globalisasi membuat cuaca tidak menentu. Namun, saat ini keadaan berbeda. Untung saja
hujan telah menyisakan udara sejuk nan damai di sepanjang perjalananku ke
sekolah.
“Aku turun
disini aja, ma.” Pintaku saat sampai di halte seberang sekolah.
“Hati-hati
ya, sayang.” Mama mengingatkan, sambil mencium keningku.
“Iya, ma.” Aku
segera membuka pintu mobil. Dan turun sambil melambaikan tangan kearah mama.
Dengan disambut pagi yang cerah.
Berbagai aktivitas dapat dimulai. Padatnya Ibu Kota mulai menghiasi hari-hari.
Suasana yang ramai dan deru kendaraan memecah kesunyian.
Sebuah bajaj
melintasi jalanan Ibu Kota. Dengan lihainya pengendara bajaj itu meliuk-liuk
diantara bajaj lainnya. Terlihat pengendara bajaj, tampak asyik memandangi
jalan. Hingga akhirnya, kubangan air yang menampung tetesan hujan semalam
ditabraknya. Byyaarrrr...
“Hehehe...
maap yak, neng?” Pengendara bajaj tampak tertawa, dan kembali melajukan
bajajnya.
“Hah? Aduh.. sepatu ku.” Keluh seorang gadis
dipinggir jalan yang terkena cipratan air dari sang bajaj. Semua mata tertuju
padanya dengan ekspresi kaget. Termaksud aku. Aku heran dengan gadis itu.
Kenapa malah mengeluh? Bukannya berteriak memanggil bajaj yang baru saja
mencipratkan air kotor berwarna kecokelatan ke sepatunya dan memarahi abang
bajaj yang cengengesan itu, tapi dia malah diam saja. Kalau aku jadi dia, aku
akan kejar bajaj itu dan minta ganti rugi. Kalau emang abang bajajnya gak mau
ganti rugi, akan aku hajar sampai dia mau ganti rugi.
Untungnya
bukan aku, tapi gadis itu. Aku terus memandangi gadis itu, dia terlihat
memegangi sepatunya. Ku perhatikan gadis itu mulai dari ujung rambut hingga
ujung kakinya. Rambutnya yang hitam dikepang satu kesamping kanan, menghiasi
wajahnya yang lugu namun manis. Tampaknya, gadis itu mengenakan seragam yang sama
dengan seragam yang ku pakai. Tapi kok aku tidak pernah melihatnya ya? Gadis
itu memakai seragam sekolah bermotif batik dibagian roknya berwarna ungu dan
warna dasar roknya berwarna ungu soft hingga dibawah lutut, dan baju seragam
putih lengan pendek. Dipadu dengan jas lengan panjang dan dasi yang memiliki
motif serta warna yang sama dengan rok. Kaus kaki putih panjang hingga menutupi
betis, dan sepatu convers hitam bertuliskan SMA Elzavia. Khusus jas wanita,
sedikit membentuk lengkuk pinggang.
Aku berjalan mendekati gadis itu.
“Lo nggak
papa?” tanyaku sambil tersenyum memberinya tisu.
Gadis itu terkejut melihat aku
telah berada disampingnya sambil memberikan tisu padanya.
“Eh, engg...
aku teh nggak papa.” Jawab gadis itu dengan aksen Sunda.
“Lo orang
sunda ya?” tanya ku untuk memastikan.
“Iya... Aku
teh baru pindah ke Jakarta. Aku baru aja sampai kemarin. Aku teh pindahan
dari Bandung. Di Jakarta
aku tinggal sama om dan tante. Aku teh baru pindah sekolah di SMA Elzavia, yang diseberang itu. Kita teh satu sekolah nya’? Aku belum kenal siapa-siapa disini lho. Jadi kamu mau
kan jadi temanku?” Jawab
gadis sunda itu sambil menunjuk kearah seberang. Aku mengangguk dengan ekspresi
bingung melihatnya. Baru aja aku nanya satu pertanyaan, udah dijawab banyak.
Siapa juga yang nanya dia tinggal sama siapa? Dateng kapan? Pindahan darimana? Dia anak baru atau bukan? Kenal sama siapa
disini? Dan ngajakin jadi teman dengan langsung nyerocos kayak gini? Aneh! Spesies langka! Baru tau kalau ada orang aneh macam dia.
Walaupun teman kelas ku punya kepribadian yang berbeda-beda dan unik, tapi kali
ini dia lebih cerewet dari Faula, sahabatku. Wah, bahaya kalau sampai dia masuk
kelas ku. Batin Chintya.
“Hehehe...
salam kenal nya’. Namaku teh Gadis Jelita kamu bisa
panggil aku Gadis.” Dengan
ramah Gadis mengulurkan tangannya.
“Gue,
Chintya. Chintya
Elena Veronica Elvaro” Ku sambut
uluran tangannya.
“Nama kamu
teh panjang
nya’ tapi cocok sama orangnya?” katanya sambil memandangi
wajahku.
Aku bingung. Aduh, apa lagi sih
dia? Kalau tau begini, nyesel deh menghampiri dia tadi.
“Cocok
gimana maksudnya?”
“Iya, cocok.
Nama kamu teh bagus, sama kayak kamu. Wajah kamu teh mirip siapa ya? Aku lupa.”
Gadis mencoba mengingat-ingat sambil melihat keatas.
“Siapa?”
tanyaku.
Gadis tampak memutar otaknya,
dahinya menampakkan kerutan. “Emm..
tunggu! tunggu! apa ya yang mirip? emm... ”
“Oh iya!”
tampangnya yang serius kini berubah tersenyum. “Pokoknya teh cantik. Iya, itu
yang aku ingat. Rambutnya juga hampir sama.” Katanya cengengesan sambil kembali
menoleh kearah ku.
GUBRAK..
HAH?! APA?! Dari tadi
ngingat-ngingat, yang diingat cuma ‘cantik’? Ya Tuhan.. mimpi apa aku semalam.
Apa gara-gara aku ngitung domba sebelum tidur, sampai-sampai lupa berdoa? Makanya
ketemu Gadis. Oh No!!
“Makasih.”
Aku memaksakan bibir ku untuk tersenyum. Gadis terlihat membuka mulutnya, seperti
ingin mengatakan sesuatu.
“Masuk yuk!”
Ajak ku sambil menariknya keseberang jalan, sebelum dia berbicara panjang lebar
lagi.
.................
“Gue kekelas
dulu ya?” Kataku sambil tetap mempertahankan senyum. Secerewet apapun dia, aku
harus tetap menjaga image. Masa iya aku ngomel-ngomel didepan anak baru? Nggak
akan. Huhh.. sabar..sabar..
Gadis balas tersenyum.
“Semoga kita
teh sekelas ya? Permisi..” Katanya sambil berjalan kearah ruang kepala sekolah.
“Semoga aja nggak ya?” jawabku dalam hati.
Senyum ku musnah seketika saat
dia sudah menghilang diantara keramaian koridor. “Haduh, amit-amit..” aku berbicara sendiri
sambil mengetuk-ketuk kepalaku. “Jangan sampe deh, Gadis masuk ke kelas gue.
Kalau dia kalem mending. Tapi nyatanya? Dia cerewetnya melebihi Faula atau
bahkan sama? Sial banget, sial.”
Sangking sibuknya komat-kamit,
aku sedikit terkejut. Tiba-tiba ada yang merangkul bahu ku.
“Pagi..” terdengar sapaan
disamping ku. Suara itu sangat ku kenal. Bagaimana
tidak? Suara itu sudah mulai ku dengar sejak aku dilahirkan ke dunia ini. Mulai
dari suara dia menangis sampai suaranya yang terdengar lebih dewasa. Nggak bisa
dibilang bosen juga, mendengar suaranya. Dia sudah ku anggap sebagai kakak ku
sendiri. Walau umur ku dengan nya hanya berbeda 2 bulan. Dia Pano. Distira
Elvano Anggara, sahabat sekaligus tetangga ku.
Aku hanya membalas sapaannya
dengan senyuman dan kembali komat-kamit membaca mantra penolakan agar Gadis
tidak dimasukkan ke kelas yang sama dengan ku. Terkecuali dia bisa mengurangi
atau bahkan menghilangkan sifat cerewetnya. Kalau tidak, bisa-bisa aku pusing.
Waktu itu, malam hari sebelum tahun ajaran baru dimulai, Faula sudah menelpon
ku. Mengganggu tidur chaantiiyyiekkk ku. Dan berteriak histeris di telepon
sambil memberitahukan bahwa kami sekelas. Aku ikut senang mendengarnya. Tapi,
teriakkannya itu lho yang bikin tuli telinga.
Walaupun sedang berkomat-kamit,
aku masih bisa melihat Distira dari sudut mata ku yang terlihat
bingung. “Lo kenapa?” tanya nya sambil menyentuh kening ku. “Gak panas kok. Apa
posisi otak lo berubah ya?”
“Ssssttt.....” Aku tidak
memperdulikan kata-katanya. Aku tetap saja berkomat-kamit ria. Distira masih
saja bingung melihat tingkah ku. Dengan tangan kirinya, dia menelusuri layar handphone, sedangkan tangan kanannya
masih merangkulku. Seperti sudah menemukan yang ia cari, Distira mendekatkan handphonenya ketelinga.
“Halo, Assalamuallaikum tante.
Tante Chintya ken…” kata-kata Distira terhenti. Secepat kilat aku merebut
handphonenya, dan memutus sambungan telponnya dengan mama.
“Pano! Kok lo telepon nyokap gue? Nanti mama bisa-bisa
heboh tau?”
“Tau.” Distira mengangguk, “Habis dari tadi ngapain?
Bikin orang khawatir aja.” Tanya nya setelah kaget karena handphonenya ku rebut.
“Gue lagi baca mantra. Makanya
ya, harap tenang!”
“Mantra? Mantra apaan? Wah..
jangan-jangan lo mau ngepelet gue ya biar suka sama lo?” goda Distira, sambil
cekikikan
“Huu.. ge-er.” kata ku sambil
menjulurkan lidah.
“Hahahaa..” Distira malah
tertawa.
…………..
Hari
keempat, ditahun ajaran baru. Suasana kelas sangat ramai. Berbagai aktivitas
terjadi didalamnya. Aku sudah terbiasa dengan suasana ini. Suasana yang berbeda
dari kelas-kelas lainnya, yang lebih kalem dan diam dengan tujuan menjaga wajah
agar terlihat tetap fresh dipagi hari.
Didepan kelas sudah ada Rico, Azi, Pito, Toro, Udin dan Risdi yang meramaikan
suasana dengan bermain sepak bola. Mereka menggunakan bola pingpong sebagai
bolanya. Tak ayal, bola jingga yang terbuat dari plastik ringan itu memantul ke
seluruh penjuru kelas. Mereka menirukan gaya-gaya
para pemain bola internasional, tapi yang lancar dilakukan hanyalah jugling dan beberapa operan bola.
Sisanya dilakukan dengan gaya yang bisa dibilang aneh plus hancur. Anehnya, mereka
saling menertawakan diri sendiri. Dan memang itulah mereka. Padahal mereka
adalah bagian dari andalan tim footsall SMA Elzavia. Mereka selalu tampil mengesankan
dilapangan. Tapi dibalik semua itu, jiwa humoris mereka lebih tinggi.
Dibaris paling depan, Setyo sibuk berbicara
menirukan komentator bola profesional. Disamping Setyo, ada Reza, Bobon, dan
Bowo yang bersorak mendukung sebagai suporter, sambil meneriakkan nama pemain internasional
kebanggaannya. Contohnya Rico yang diteriakkan oleh Reza sebagai yeeee... ayo Andres Rico Iniesta!
Baris
kedua dekat pintu, Ary, Ranti, Ara, dan Lala sedang melepas rindu. Maklum sudah
lama tidak bertemu (padahal sih cuma 2 minggu).
“Ary.... kangen.... kapan ya kita
terakhir ketemu?” Ara dan Ary saling berpelukan. (Haduh, kayak telletubis aja).
“Iya ya? Kapan ya? Wah.. habis
libur sih, jadi nggak inget tanggal. Hehe.. ” Ary melepas pelukannya.
Mereka
saling bertukar cendramata, dan menceritakan kisah liburan mereka
masing-masing. Haduh.. Rumpi deh!
Ditengah
kelas, Amin asik memainkan gitarnya. Tak lupa juga, sebotol air mineral telah ada
diatas mejanya. Tentu itu untuk memudahkannya saat haus karena terus bernyanyi.
“Air itu kehidupan, kita tidak
boleh menyia-nyiakannya. Bagaimana kalau dia tidak ada? Kita tidak bisa hidup
tanpanya. Kamu beruntung bisa mendapatkannya dengan mudah. Bagaimana dengan
nasib saudara kita disana? Yang bersusah payah mencari segelas air untuk
diminum. Kamu ngerti kan? 75% dari tubuh
kita itu membutuhkan air. Dengan kamu membuang sedikit saja air, kamu telah
menghancurkan masa depan bumimu.” Amin menasihati adik kelas yang dilihatnya sedang
membuang botol air mineral yang masih berisi air seperempat bagian dari botol
itu. Adik kelas itu terkesan dan hanya mengangguk tanda mengerti. Alhasil, adik
kelas itu mengurungkan niatnya dan kembali berjalan dengan temannya setelah ia
mencium tangan Amin. Seakan-akan Amin itu guru baginya.
Kembali kegiatan yang dilakukan Amin
sekarang. Amin sedang menyanyikan lagu I’m Yours dari Bruno Mars. Sangking
asiknya, dia memejamkan mata sambil bermain gitar. Hal yang sama dilakukan Amin
saat minum. Sambil merem, tangannya mencari-cari botol dan setelah meminumnya
dia kembali asik dengan gitarnya lagi. Dengan lihai jemarinya menari-nari
diatas keenam senar gitar. Amin memang jago dalam musik. Dia juga ahli sebagai repper, bahkan DJ.
Dibagian
belakang kelas, Vania membuka acara salon braid. Mereka
semua membuat lingkaran dan saling mengepang rambut satu sama lain.
“Aw.. aduh, kalo mau jambak
jangan satu rambut doang dong! Sekalian aja yang banyak, biar gak sakit.” keluh
Vania.
“Ini juga lagi pelan-pelan.”
Pretty juga sibuk menahan kepalanya yang tertarik kebelakang karena dikepang. Hebatnya
dari keahlian mereka, gaya kepangan yang mereka pakai selalu berbeda. Rambut
Vania dikepang Water Fall oleh
Pretty. Rambut Pretty dibuat dengan gaya Fishtail
oleh Nanda. Rambut bagian depan Nanda dikepang kelabang dengan gaya zig-zag
oleh Feti, sehingga membentuk bandana. Maklum, Feti baru menguasai gaya kepang
kelabang sebagai latihan dasar. Sedangkan Vania menggunakan gaya kepang Double Water Fall untuk rambut Feti.
Jelas saja gaya yang digunakan Vania cukup sulit, karena diantara mereka, Vania
lah yang paling mahir mengepang. Aku sudah bisa menguasai sedikitnya dari gaya
kepangan mereka. Karena itu lah, aku mulai menghias rambut ku dengan berbagai
kepangan. Hehe..
Disamping
mereka, terlihat Raka yang menutupi wajahnya dengan buku. Karena heran aku menghampirinya dan menyenggol bahunya.
“Duileh... rajin amat. Baru juga
minggu pertama, udah belajar. Belajar Fisika lagi.” Aku mengagetkan Raka yang
terlihat sibuk dengan bukunya. Tangan Raka memegangi bukunya erat, hingga
menutupi wajah. Tiba-tiba saja buku itu terjatuh, namun tangannya masih pada
posisinya saat memegang buku. Dan ternyata Raka tidak sedang belajar. Dia
sedang melaksanakan hobi serta relaksasi pagi baginya. Mungkin dia sudah dialam
mimpi, sampai-sampai tidak sadar bahwa buku yang menutupi wajahnya sudah jatuh.
“Dasar! Mungkin gempa pun tidak bisa
mengumpulkan kesembilan nyawanya secara cepat.” Batin ku.
Dia pernah bilang, bahwa prinsip hidupnya
adalah ‘Tidak tidur tidak hebat’ dan ‘Uang mu,uang
ku. Uang ku ya.... uang ku’. Hebat! Empat
jempol untuknya. Mungkin prinsipnya yang keduabisa
dipraktekkan.
Aku dan Distira hanya tertawa melihat posisi
tidurnya. Dengan sigap Distira mengeluarkan handphonenya
dan mulai memotret Raka dari segala arah. Raka memang berbeda. Dia lebih banyak
memiliki koleksi fotonya saat tidur dengan pose yang berbeda-beda disegala
tempat, dari pada fotonya saat sadar sambil bergaya.
Setelah
aku dan Distira ber- say hello dari barisan depan hingga ke bangku barisan
belakang, aku melihat Faula yang sedari tadi melambaikan tangannya kearah ku
dan Distira. Kami membalas lambaian tangannya. Selain Distira, Faula juga
sahabat ku. Aku
mengenalnya saat duduk di bangku SMP, dengan
nama lengkap Faula Angelinna. Dia tidak lagi memuji namanya yang menurut orang
indah, semenjak dia masuk SMP dan bertemu dengan Ucup (teman sekelas kami dulu
di SMP), dengan aksen betawinya Ucup sering memanggil Faula dengan sebutan
Paul. Hingga saat ini aku yang mengenang sebutan
spesial Ucup itu. Faula sangat menawan. Wajahnya cantik, juga manis saat
tersenyum. Dia menggunakan kaca mata tipis, namun tidak mengurangi
kecantikkannya. Dia fasionable, tapi kutu buku. Kami bertiga bisa dibilang
populer, dengan keahlian yang kami punya masing-masing.
Sekarang Faula terlihat sibuk dengan
Laptopnya. Kadang ia tertawa, namun kemudian berubah serius, lalu berubah
senyum-senyum sendiri, dan kemudian menunjukkan ekspresi heran. Hiiiii.. serem.
Kenapa tuh anak? Batinku.
“Ih.. kenapa lo? Ketawa nggak
ngajak-ngajak.” Tanyaku heran.
“Tau, lagi ngapain sih? Kayaknya
seru tuh?” Lanjut Distira.
“Hehehe.. mau tau aja? Apa mau
tau banget?” Tanya Faula meledek.
Aku dan Distira langsung berlajan kearah
belakang Faula, sehingga bisa melihat apa yang sedang dilihatnya.
Dan ternyata dia sedang sibuk melihat-lihat
fotonya, aku, dan Distira saat berlibur di Raja Ampat-Papua dan Mahameru di
Malang. Pantas saja ekspresi wajahnya cepat berubah. Dalam album itu lebih
banyak foto candid kami, dari pada foto yang direncanakan.
Sehingga lebih menampakkan ekspresi alami yang kami rasakan saat berada disana.
Distira masih saja merangkul bahu ku sampai
kami berada dibangku barisan paling belakang. Aku memang memesan bangku
dibarisan paling belakang oleh Faula. Agar lebih terbebas dari perhatian guru.
Ini perasaan ku saja atau memang semuanya menyadari, lebih banyak guru yang
memasang wajah killer dari pada
berwajah bidadari.
“Pagi semua...” Tagor menyapa
kami semua dengan aksen Bataknya. “Bah, pagi-pagi sudah rangkulan saja kau,
abang ade.” Tagor sudah terbisa melihatku bersama Distira, langsung menyapa
kami dengan julukan khusus darinya untuk kami berdua dengan aksen Bataknya
‘Abang Ade’. Aku dan Distira hanya nyengir mendengarnya. Suara Tagor itu sangat
membahana kalau tidak ada guru. Sedangkan saat berbicara dengan guru dia
mencoba lebih sopan, dan dengan susah payah dia menahan suaranya agar terdengar
lebih pelan. Tapi itu tidak berlaku pada saat pelajaran Bu Dias berlangsung.
Tagor bisa lebih leluasa berbicara pada Bu Dias. Bu Dias memaklumi cara berbicara
Tagor. Bu Dias adalah guru paling muda yang mengajar di SMA Arjuna. Dengan wajah yang cantik dan sifatnya yang
gaul, baik, serta asyik namun tegas dan bijak, membuat Bu Dias menjadi guru
yang paling disukai oleh siswa-siswi SMA Arjuna.
Suasana Ramai ini berlangsung
cukup lama. Kami semua bernyanyi bersama. Ini semua terjadi karena kami
terpukau pada pertunjukan Amin dibangkunya yang bernyanyi dengan mata terpejam.
Saat dia membuka matanya, Amin tampak terkejut. Kami telah mengelilinginya
sambil memegang botol air mineral masing-masing (kalau mau ikut bernyanyi
bersamanya, kami diwajibkan minum setelah selesai menyanyikan satu lagu) dan
ikut menyanyikan Lagu Viera-Bersama mu. Kami telah menyanyikan lima lagu secara
bersama dan diakhiri dengan Lagu wajib Indonesia Raya yang mengembalikan
semangat 45 kami. Saat bernyanyi pun Rico cs tetap memeriahkan suasana sambil berdiri
menghentakkan kaki seakan-akan mereka itu pahlawan bangsa dengan tampang
serius+lawak. Ternyata jam pun sudah menunjukan angka tujuh lewat tiga puluh,
tapi bel masuk masih saja belum berdering.
“Ayo request lagi! Mau lagu apa?”
Amin terlihat bersemangat. Kami semua bingung dan mencoba mencari lagu yang pas
untuk dinyanyikan.
“Lagu selamat ulang tahun aja
dari Jamrud! Sekarang kan ada yang ulang tahun lho.” Aku mencoba
mengingat-ingat. Benar atau tidak kalau Udin sedang berulang tahun hari ini.
Semoga aja benar.
“Siapa?”
Faula bertanya pada ku.
“Iya,
siapa?” semua serempak bertanya padaku.
“Emm.....”
Aku berfikir sejenak. “Emm... Udin. Ya kan, Din?” tanya ku pada Udin.
Udin yang merasa namanya disebut
malah cengengesan sambil mengangguk. Dan semuanya pun heboh.
“Wah, maafin
kita ya, Din. Kita semua lupa. Untung Ceree inget.” Distira meminta maaf kepada
Udin sambil mengacak-acak rambut ku. Untung hari ini aku sedang digerai. Kalau
tidak? Sudah ku timpuk Distira dengan sepatu, karena telah mengacak-acak
rambutku tanpa dosa.
“Hehe.. iya
gak papa. Makasih ya.” Udin masih saja cengengesan.
“Eh gua ada
cup cake nih. Tadinya sih buat istirahat, tapi gak papa deh buat Udin aja.”
Pretty memberikan cup cakenya pada Distira. Dia tidak akan rela kalau
makanannya diberikan untuk orang lain. Tapi, berbeda kalau makanannya itu untuk
teman yang dianggapnya baik. Seperti kami inilah.
“Oke. Fet,
lo bawa lilin kan?” Distira bertanya pada Feti. Feti memang dengan sukarela membawa
lilin ulang tahun setiap hari, untuk acara mendadak seperti ini katanya.
“Bawa, nih.”
Jawab Feti sambil menyerahkan lilin.
“ Ko..”
Distira memberikan perintah dengan memanggil Rico. Rico dengan sigapnya
langsung berlarian keluar kelas. Tak lama kemudian Rico kembali dengan membawa
korek api dan memberikannya pada Distira. Korek itu dipinjam dari Mas Santo
tukang kebun sekolah. Padahal kelas 3IPA-1 ada dilantai tiga, sedangkan Mas
Santo berada dilantai satu. Dengan kakinya yang menunjang, Rico dengan mudah
penggapai setiap cm lantai dengan cepat. Sedangkan saat ditangga, dia meluncur
disisi peganggan tangga dengan lihai, dan cukup menjadi tontonan heboh. Kecuali
saat ada guru, dia berjalan menuruni tangga dengan layaknya.
“Oke.
Sekarang siap. Mulai, Min!” Kami semua menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun
dari Jamrud, untuk Udin dengan alunan gitar yang dimainkan Amin. Udin yang
tampak senang hanya tesenyum sumeringah. Selesai menyanyikan beberapa bait dari
lagu itu. Udin meniup lilin ulang tahunnya. Dengan dipimpin Raka, kami semua
mendo’a kan Udin.
“Amin....”
Kami semua serempak menjawab kecuali Amin yang merasa namanya terpanggil justru
menjawab.
“Saya...”. Kontan
semuanya menengok dan mempelototi Amin dengan tatapan diem-deh-lagi-serius-nih.
Amin hanya tersenyum. Selanjutnya kami mengucapkan selamat dan bersalaman
dengan Udin secara bergantian (kayak ibu-ibu pengajian kalo mau pulang aja).
“Din, gue ada
sesuatu nih buat lo. Tapi maaf ya, kalo gue gak bisa ngasih yang bagus.” Rico memberikan
sekotak kado yang berukuran sedang. Kado itu dibungkus asal dengan koran.
“Aduh, jadi
terharu. Tapi lebih banyak curiga.” Udin berakting menangis. Seakan terharu karena
mendapatkan hadiah istimewa. “Kok berat, Ko?” Udin tambah sumeringah saat
mengetahui kadonya terasa berat.
Rico hanya senyum-senyum bersama
yang lainnya sambil berbisik-bisik. Hingga kabar itu sampai ditelinga ku dan
aku meneruskannya ke telinga Faula dan begitu selanjutnya.
Udin tampak bersemangat membuka
kadonya. Dengan susah payah dia membukanya. Setelah berhasil membuka kado itu,
wajah Udin berubah datar.
“Sial!
Isinya Batu. Nemu dimana lo?”
Tawa kami semua pun meledak.
Setelah Udin mengetahui isi kado tersebut hanyalah batu berukuran sedang dan
masih dilumuri sedikit tanah.
“Hahahahh...
itu gue dapet dari mas Santo. Tadi gue pengen ngasih lo kado, pas gue tanya mas
Santo, dia bilang ‘Kasih batu aja, mas Rico. Biar berkesan, tuh saya punya
banyak batu habis ngebongkar kantin. Bingung mau dibuang kemana?’ Gitu katanya,
yaudah gue setuju. Hahahahh...” Rico menjawabnya sambil terus tertawa.
“Din, pajang ya batunya dikamar lo! Hadiah dari
kita-kita tuh.” Aku menyarankan agar batu itu wajib dipajang didalam kamar
Udin, sebagai kenang-kenangan dan semuanya setuju. Kecuali Udin yang masih
memasang tampang datar.
Mau tau kelanjutannya??? silahkan lihat disini
Label: Cerita Bersambung