Sabtu, 19 Januari 2013

C.E.V.E


Awal bulan Juli. Awal bulan dimana globalisasi baru saja membuat langit menumpahkan hujan tak kenal waktu. Karena adanya globalisasi membuat cuaca tidak menentu. Namun, saat ini keadaan berbeda. Untung saja hujan telah menyisakan udara sejuk nan damai di sepanjang perjalananku ke sekolah.
“Aku turun disini aja, ma.” Pintaku saat sampai di halte seberang sekolah.
“Hati-hati ya, sayang.” Mama mengingatkan, sambil mencium keningku.
“Iya, ma.” Aku segera membuka pintu mobil. Dan turun sambil melambaikan tangan kearah mama.
Dengan disambut pagi yang cerah. Berbagai aktivitas dapat dimulai. Padatnya Ibu Kota mulai menghiasi hari-hari. Suasana yang ramai dan deru kendaraan memecah kesunyian.
Sebuah bajaj melintasi jalanan Ibu Kota. Dengan lihainya pengendara bajaj itu meliuk-liuk diantara bajaj lainnya. Terlihat pengendara bajaj, tampak asyik memandangi jalan. Hingga akhirnya, kubangan air yang menampung tetesan hujan semalam ditabraknya. Byyaarrrr...
“Hehehe... maap yak, neng?” Pengendara bajaj tampak tertawa, dan kembali melajukan bajajnya.

“Hah?  Aduh.. sepatu ku.” Keluh seorang gadis dipinggir jalan yang terkena cipratan air dari sang bajaj. Semua mata tertuju padanya dengan ekspresi kaget. Termaksud aku. Aku heran dengan gadis itu. Kenapa malah mengeluh? Bukannya berteriak memanggil bajaj yang baru saja mencipratkan air kotor berwarna kecokelatan ke sepatunya dan memarahi abang bajaj yang cengengesan itu, tapi dia malah diam saja. Kalau aku jadi dia, aku akan kejar bajaj itu dan minta ganti rugi. Kalau emang abang bajajnya gak mau ganti rugi, akan aku hajar sampai dia mau ganti rugi.
Untungnya bukan aku, tapi gadis itu. Aku terus memandangi gadis itu, dia terlihat memegangi sepatunya. Ku perhatikan gadis itu mulai dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Rambutnya yang hitam dikepang satu kesamping kanan, menghiasi wajahnya yang lugu namun manis. Tampaknya, gadis itu mengenakan seragam yang sama dengan seragam yang ku pakai. Tapi kok aku tidak pernah melihatnya ya? Gadis itu memakai seragam sekolah bermotif batik dibagian roknya berwarna ungu dan warna dasar roknya berwarna ungu soft hingga dibawah lutut, dan baju seragam putih lengan pendek. Dipadu dengan jas lengan panjang dan dasi yang memiliki motif serta warna yang sama dengan rok. Kaus kaki putih panjang hingga menutupi betis, dan sepatu convers hitam bertuliskan SMA Elzavia. Khusus jas wanita, sedikit membentuk lengkuk pinggang.

Aku berjalan mendekati gadis itu.
“Lo nggak papa?” tanyaku sambil tersenyum memberinya tisu.
Gadis itu terkejut melihat aku telah berada disampingnya sambil memberikan tisu padanya.
“Eh, engg... aku teh nggak papa.” Jawab gadis itu dengan aksen Sunda.
“Lo orang sunda ya?” tanya ku untuk memastikan.
“Iya... Aku teh baru pindah ke Jakarta. Aku baru aja sampai kemarin. Aku teh pindahan dari Bandung. Di Jakarta aku tinggal sama om dan tante. Aku teh baru pindah sekolah di SMA Elzavia, yang diseberang itu. Kita teh satu sekolah nya? Aku belum kenal siapa-siapa disini lho. Jadi kamu mau kan jadi temanku?” Jawab gadis sunda itu sambil menunjuk kearah seberang. Aku mengangguk dengan ekspresi bingung melihatnya. Baru aja aku nanya satu pertanyaan, udah dijawab banyak. Siapa juga yang nanya dia tinggal sama siapa? Dateng kapan? Pindahan darimana? Dia anak baru atau bukan? Kenal sama siapa disini? Dan ngajakin jadi teman dengan langsung nyerocos kayak gini? Aneh! Spesies langka! Baru tau kalau ada orang aneh macam dia. Walaupun teman kelas ku punya kepribadian yang berbeda-beda dan unik, tapi kali ini dia lebih cerewet dari Faula, sahabatku. Wah, bahaya kalau sampai dia masuk kelas ku. Batin Chintya.
“Hehehe... salam kenal nya’. Namaku teh  Gadis Jelita kamu bisa panggil aku Gadis.” Dengan ramah Gadis mengulurkan tangannya.
“Gue, Chintya. Chintya Elena Veronica Elvaro” Ku sambut uluran tangannya.
“Nama kamu teh panjang nya’ tapi cocok  sama orangnya?” katanya sambil memandangi wajahku.
Aku bingung. Aduh, apa lagi sih dia? Kalau tau begini, nyesel deh menghampiri dia tadi.
“Cocok gimana maksudnya?”
“Iya, cocok. Nama kamu teh bagus, sama kayak kamu. Wajah kamu teh mirip siapa ya? Aku lupa.” Gadis mencoba mengingat-ingat sambil melihat keatas.
“Siapa?” tanyaku.
Gadis tampak memutar otaknya, dahinya menampakkan  kerutan. “Emm.. tunggu! tunggu! apa ya yang mirip? emm... ”
“Oh iya!” tampangnya yang serius kini berubah tersenyum. “Pokoknya teh cantik. Iya, itu yang aku ingat. Rambutnya juga hampir sama.” Katanya cengengesan sambil kembali menoleh kearah ku.
GUBRAK..
HAH?! APA?! Dari tadi ngingat-ngingat, yang diingat cuma ‘cantik’? Ya Tuhan.. mimpi apa aku semalam. Apa gara-gara aku ngitung domba sebelum tidur, sampai-sampai lupa berdoa? Makanya ketemu Gadis. Oh No!!
“Makasih.” Aku memaksakan bibir ku untuk tersenyum. Gadis terlihat membuka mulutnya, seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Masuk yuk!” Ajak ku sambil menariknya keseberang jalan, sebelum dia berbicara panjang lebar lagi.

.................

“Gue kekelas dulu ya?” Kataku sambil tetap mempertahankan senyum. Secerewet apapun dia, aku harus tetap menjaga image. Masa iya aku ngomel-ngomel didepan anak baru? Nggak akan. Huhh.. sabar..sabar..
Gadis balas tersenyum.
“Semoga kita teh sekelas ya? Permisi..” Katanya sambil berjalan kearah ruang kepala sekolah. “Semoga aja nggak ya?” jawabku dalam hati.
Senyum ku musnah seketika saat dia sudah menghilang diantara keramaian koridor. “Haduh, amit-amit..” aku berbicara sendiri sambil mengetuk-ketuk kepalaku. “Jangan sampe deh, Gadis masuk ke kelas gue. Kalau dia kalem mending. Tapi nyatanya? Dia cerewetnya melebihi Faula atau bahkan sama? Sial banget, sial.”
Sangking sibuknya komat-kamit, aku sedikit terkejut. Tiba-tiba ada yang merangkul bahu ku.
“Pagi..” terdengar sapaan disamping ku. Suara itu sangat ku kenal. Bagaimana tidak? Suara itu sudah mulai ku dengar sejak aku dilahirkan ke dunia ini. Mulai dari suara dia menangis sampai suaranya yang terdengar lebih dewasa. Nggak bisa dibilang bosen juga, mendengar suaranya. Dia sudah ku anggap sebagai kakak ku sendiri. Walau umur ku dengan nya hanya berbeda 2 bulan. Dia Pano. Distira Elvano Anggara, sahabat sekaligus tetangga ku.
Aku hanya membalas sapaannya dengan senyuman dan kembali komat-kamit membaca mantra penolakan agar Gadis tidak dimasukkan ke kelas yang sama dengan ku. Terkecuali dia bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan sifat cerewetnya. Kalau tidak, bisa-bisa aku pusing. Waktu itu, malam hari sebelum tahun ajaran baru dimulai, Faula sudah menelpon ku. Mengganggu tidur chaantiiyyiekkk ku. Dan berteriak histeris di telepon sambil memberitahukan bahwa kami sekelas. Aku ikut senang mendengarnya. Tapi, teriakkannya itu lho yang bikin tuli telinga.
Walaupun sedang berkomat-kamit, aku masih bisa melihat Distira dari sudut mata ku yang  terlihat bingung. “Lo kenapa?” tanya nya sambil menyentuh kening ku. “Gak panas kok. Apa posisi otak lo berubah ya?”
“Ssssttt.....” Aku tidak memperdulikan kata-katanya. Aku tetap saja berkomat-kamit ria. Distira masih saja bingung melihat tingkah ku. Dengan tangan kirinya, dia menelusuri layar handphone, sedangkan tangan kanannya masih merangkulku. Seperti sudah menemukan yang ia cari, Distira mendekatkan handphonenya ketelinga.
“Halo, Assalamuallaikum tante. Tante Chintya ken…” kata-kata Distira terhenti. Secepat kilat aku merebut handphonenya, dan memutus sambungan telponnya dengan mama.
“Pano! Kok lo telepon nyokap gue? Nanti mama bisa-bisa heboh tau?”
“Tau.” Distira mengangguk, “Habis dari tadi ngapain? Bikin orang khawatir aja.” Tanya nya setelah kaget karena handphonenya ku rebut.
“Gue lagi baca mantra. Makanya ya, harap tenang!”
“Mantra? Mantra apaan? Wah.. jangan-jangan lo mau ngepelet gue ya biar suka sama lo?” goda Distira, sambil cekikikan
“Huu.. ge-er.” kata ku sambil menjulurkan lidah.
“Hahahaa..” Distira malah tertawa.

…………..

                Hari keempat, ditahun ajaran baru. Suasana kelas sangat ramai. Berbagai aktivitas terjadi didalamnya. Aku sudah terbiasa dengan suasana ini. Suasana yang berbeda dari kelas-kelas lainnya, yang lebih kalem dan diam dengan tujuan menjaga wajah agar terlihat tetap fresh dipagi hari. Didepan kelas sudah ada Rico, Azi, Pito, Toro, Udin dan Risdi yang meramaikan suasana dengan bermain sepak bola. Mereka menggunakan bola pingpong sebagai bolanya. Tak ayal, bola jingga yang terbuat dari plastik ringan itu memantul ke seluruh penjuru kelas. Mereka menirukan gaya-gaya para pemain bola internasional, tapi yang lancar dilakukan hanyalah jugling dan beberapa operan bola. Sisanya dilakukan dengan gaya yang bisa dibilang aneh plus hancur. Anehnya, mereka saling menertawakan diri sendiri. Dan memang itulah mereka. Padahal mereka adalah bagian dari andalan tim footsall  SMA Elzavia. Mereka selalu tampil mengesankan dilapangan. Tapi dibalik semua itu, jiwa humoris mereka lebih tinggi.
Dibaris paling depan, Setyo sibuk berbicara menirukan komentator bola profesional. Disamping Setyo, ada Reza, Bobon, dan Bowo yang bersorak mendukung sebagai suporter, sambil meneriakkan nama pemain internasional kebanggaannya. Contohnya Rico yang diteriakkan oleh Reza sebagai yeeee... ayo Andres Rico Iniesta!
                Baris kedua dekat pintu, Ary, Ranti, Ara, dan Lala sedang melepas rindu. Maklum sudah lama tidak bertemu (padahal sih cuma 2 minggu).
“Ary.... kangen.... kapan ya kita terakhir ketemu?” Ara dan Ary saling berpelukan. (Haduh, kayak telletubis aja).
“Iya ya? Kapan ya? Wah.. habis libur sih, jadi nggak inget tanggal. Hehe.. ” Ary melepas pelukannya.
 Mereka saling bertukar cendramata, dan menceritakan kisah liburan mereka masing-masing. Haduh.. Rumpi deh!
                Ditengah kelas, Amin asik memainkan gitarnya. Tak lupa juga, sebotol air mineral telah ada diatas mejanya. Tentu itu untuk memudahkannya saat haus karena terus bernyanyi.
“Air itu kehidupan, kita tidak boleh menyia-nyiakannya. Bagaimana kalau dia tidak ada? Kita tidak bisa hidup tanpanya. Kamu beruntung bisa mendapatkannya dengan mudah. Bagaimana dengan nasib saudara kita disana? Yang bersusah payah mencari segelas air untuk diminum.  Kamu ngerti kan? 75% dari tubuh kita itu membutuhkan air. Dengan kamu membuang sedikit saja air, kamu telah menghancurkan masa depan bumimu.” Amin menasihati adik kelas yang dilihatnya sedang membuang botol air mineral yang masih berisi air seperempat bagian dari botol itu. Adik kelas itu terkesan dan hanya mengangguk tanda mengerti. Alhasil, adik kelas itu mengurungkan niatnya dan kembali berjalan dengan temannya setelah ia mencium tangan Amin. Seakan-akan Amin itu guru baginya.
Kembali kegiatan yang dilakukan Amin sekarang. Amin sedang menyanyikan lagu I’m Yours dari Bruno Mars. Sangking asiknya, dia memejamkan mata sambil bermain gitar. Hal yang sama dilakukan Amin saat minum. Sambil merem, tangannya mencari-cari botol dan setelah meminumnya dia kembali asik dengan gitarnya lagi. Dengan lihai jemarinya menari-nari diatas keenam senar gitar. Amin memang jago dalam musik. Dia juga ahli sebagai repper, bahkan DJ.
                Dibagian belakang kelas, Vania membuka acara salon braid. Mereka semua membuat lingkaran dan saling mengepang rambut satu sama lain.
“Aw.. aduh, kalo mau jambak jangan satu rambut doang dong! Sekalian aja yang banyak, biar gak sakit.” keluh Vania.
“Ini juga lagi pelan-pelan.” Pretty juga sibuk menahan kepalanya yang tertarik kebelakang karena dikepang. Hebatnya dari keahlian mereka, gaya kepangan yang mereka pakai selalu berbeda. Rambut Vania dikepang Water Fall oleh Pretty. Rambut Pretty dibuat dengan gaya Fishtail oleh Nanda. Rambut bagian depan Nanda dikepang kelabang dengan gaya zig-zag oleh Feti, sehingga membentuk bandana. Maklum, Feti baru menguasai gaya kepang kelabang sebagai latihan dasar. Sedangkan Vania menggunakan gaya kepang Double Water Fall untuk rambut Feti. Jelas saja gaya yang digunakan Vania cukup sulit, karena diantara mereka, Vania lah yang paling mahir mengepang. Aku sudah bisa menguasai sedikitnya dari gaya kepangan mereka. Karena itu lah, aku mulai menghias rambut ku dengan berbagai kepangan. Hehe..
                Disamping mereka, terlihat Raka yang menutupi wajahnya dengan buku. Karena heran aku  menghampirinya dan menyenggol bahunya.
“Duileh... rajin amat. Baru juga minggu pertama, udah belajar. Belajar Fisika lagi.” Aku mengagetkan Raka yang terlihat sibuk dengan bukunya. Tangan Raka memegangi bukunya erat, hingga menutupi wajah. Tiba-tiba saja buku itu terjatuh, namun tangannya masih pada posisinya saat memegang buku. Dan ternyata Raka tidak sedang belajar. Dia sedang melaksanakan hobi serta relaksasi pagi baginya. Mungkin dia sudah dialam mimpi, sampai-sampai tidak sadar bahwa buku yang menutupi wajahnya sudah jatuh.
“Dasar! Mungkin gempa pun tidak bisa mengumpulkan kesembilan nyawanya secara cepat.” Batin ku.
Dia pernah bilang, bahwa prinsip hidupnya adalah ‘Tidak tidur tidak hebat’ dan ‘Uang mu,uang
ku. Uang ku ya.... uang ku’. Hebat! Empat jempol untuknya. Mungkin prinsipnya yang keduabisa
dipraktekkan.
Aku dan Distira hanya tertawa melihat posisi tidurnya. Dengan sigap Distira mengeluarkan handphonenya dan mulai memotret Raka dari segala arah. Raka memang berbeda. Dia lebih banyak memiliki koleksi fotonya saat tidur dengan pose yang berbeda-beda disegala tempat, dari pada fotonya saat sadar sambil bergaya.
                Setelah aku dan Distira ber- say hello dari barisan depan hingga ke bangku barisan belakang, aku melihat Faula yang sedari tadi melambaikan tangannya kearah ku dan Distira. Kami membalas lambaian tangannya. Selain Distira, Faula juga sahabat ku. Aku mengenalnya saat duduk di bangku SMP, dengan nama lengkap Faula Angelinna. Dia tidak lagi memuji namanya yang menurut orang indah, semenjak dia masuk SMP dan bertemu dengan Ucup (teman sekelas kami dulu di SMP), dengan aksen betawinya Ucup sering memanggil Faula dengan sebutan Paul. Hingga saat ini aku yang mengenang sebutan spesial Ucup itu. Faula sangat menawan. Wajahnya cantik, juga manis saat tersenyum. Dia menggunakan kaca mata tipis, namun tidak mengurangi kecantikkannya. Dia fasionable, tapi kutu buku. Kami bertiga bisa dibilang populer, dengan keahlian yang kami punya masing-masing.
Sekarang Faula terlihat sibuk dengan Laptopnya. Kadang ia tertawa, namun kemudian berubah serius, lalu berubah senyum-senyum sendiri, dan kemudian menunjukkan ekspresi heran. Hiiiii.. serem. Kenapa tuh anak? Batinku.
“Ih.. kenapa lo? Ketawa nggak ngajak-ngajak.” Tanyaku heran.
“Tau, lagi ngapain sih? Kayaknya seru tuh?” Lanjut Distira.
“Hehehe.. mau tau aja? Apa mau tau banget?” Tanya Faula meledek.
Aku dan Distira langsung berlajan kearah belakang Faula, sehingga bisa melihat apa yang sedang dilihatnya.
Dan ternyata dia sedang sibuk melihat-lihat fotonya, aku, dan Distira saat berlibur di Raja Ampat-Papua dan Mahameru di Malang. Pantas saja ekspresi wajahnya cepat berubah. Dalam album itu lebih banyak foto candid kami, dari pada foto yang direncanakan. Sehingga lebih menampakkan ekspresi alami yang kami rasakan saat berada disana.
Distira masih saja merangkul bahu ku sampai kami berada dibangku barisan paling belakang. Aku memang memesan bangku dibarisan paling belakang oleh Faula. Agar lebih terbebas dari perhatian guru. Ini perasaan ku saja atau memang semuanya menyadari, lebih banyak guru yang memasang wajah killer dari pada berwajah bidadari.
“Pagi semua...” Tagor menyapa kami semua dengan aksen Bataknya. “Bah, pagi-pagi sudah rangkulan saja kau, abang ade.” Tagor sudah terbisa melihatku bersama Distira, langsung menyapa kami dengan julukan khusus darinya untuk kami berdua dengan aksen Bataknya ‘Abang Ade’. Aku dan Distira hanya nyengir mendengarnya. Suara Tagor itu sangat membahana kalau tidak ada guru. Sedangkan saat berbicara dengan guru dia mencoba lebih sopan, dan dengan susah payah dia menahan suaranya agar terdengar lebih pelan. Tapi itu tidak berlaku pada saat pelajaran Bu Dias berlangsung. Tagor bisa lebih leluasa berbicara pada Bu Dias. Bu Dias memaklumi cara berbicara Tagor. Bu Dias adalah guru paling muda yang mengajar di SMA Arjuna. Dengan wajah yang cantik dan sifatnya yang gaul, baik, serta asyik namun tegas dan bijak, membuat Bu Dias menjadi guru yang paling disukai oleh siswa-siswi SMA Arjuna.
Suasana Ramai ini berlangsung cukup lama. Kami semua bernyanyi bersama. Ini semua terjadi karena kami terpukau pada pertunjukan Amin dibangkunya yang bernyanyi dengan mata terpejam. Saat dia membuka matanya, Amin tampak terkejut. Kami telah mengelilinginya sambil memegang botol air mineral masing-masing (kalau mau ikut bernyanyi bersamanya, kami diwajibkan minum setelah selesai menyanyikan satu lagu) dan ikut menyanyikan Lagu Viera-Bersama mu. Kami telah menyanyikan lima lagu secara bersama dan diakhiri dengan Lagu wajib Indonesia Raya yang mengembalikan semangat 45 kami. Saat bernyanyi pun Rico cs tetap memeriahkan suasana sambil berdiri menghentakkan kaki seakan-akan mereka itu pahlawan bangsa dengan tampang serius+lawak. Ternyata jam pun sudah menunjukan angka tujuh lewat tiga puluh, tapi bel masuk masih saja belum berdering.
“Ayo request lagi! Mau lagu apa?” Amin terlihat bersemangat. Kami semua bingung dan mencoba mencari lagu yang pas untuk dinyanyikan.
“Lagu selamat ulang tahun aja dari Jamrud! Sekarang kan ada yang ulang tahun lho.” Aku mencoba mengingat-ingat. Benar atau tidak kalau Udin sedang berulang tahun hari ini. Semoga aja benar.
“Siapa?” Faula bertanya pada ku.
“Iya, siapa?” semua serempak bertanya padaku.
“Emm.....” Aku berfikir sejenak. “Emm... Udin. Ya kan, Din?” tanya ku pada Udin.
Udin yang merasa namanya disebut malah cengengesan sambil mengangguk. Dan semuanya pun heboh.
“Wah, maafin kita ya, Din. Kita semua lupa. Untung Ceree inget.” Distira meminta maaf kepada Udin sambil mengacak-acak rambut ku. Untung hari ini aku sedang digerai. Kalau tidak? Sudah ku timpuk Distira dengan sepatu, karena telah mengacak-acak rambutku tanpa dosa.
“Hehe.. iya gak papa. Makasih ya.” Udin masih saja cengengesan.
“Eh gua ada cup cake nih. Tadinya sih buat istirahat, tapi gak papa deh buat Udin aja.” Pretty memberikan cup cakenya pada Distira. Dia tidak akan rela kalau makanannya diberikan untuk orang lain. Tapi, berbeda kalau makanannya itu untuk teman yang dianggapnya baik. Seperti kami inilah.
“Oke. Fet, lo bawa lilin kan?” Distira bertanya pada Feti. Feti memang dengan sukarela membawa lilin ulang tahun setiap hari, untuk acara mendadak seperti ini katanya.
“Bawa, nih.” Jawab Feti sambil menyerahkan lilin.
“ Ko..” Distira memberikan perintah dengan memanggil Rico. Rico dengan sigapnya langsung berlarian keluar kelas. Tak lama kemudian Rico kembali dengan membawa korek api dan memberikannya pada Distira. Korek itu dipinjam dari Mas Santo tukang kebun sekolah. Padahal kelas 3IPA-1 ada dilantai tiga, sedangkan Mas Santo berada dilantai satu. Dengan kakinya yang menunjang, Rico dengan mudah penggapai setiap cm lantai dengan cepat. Sedangkan saat ditangga, dia meluncur disisi peganggan tangga dengan lihai, dan cukup menjadi tontonan heboh. Kecuali saat ada guru, dia berjalan menuruni tangga dengan layaknya.
“Oke. Sekarang siap. Mulai, Min!” Kami semua menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun dari Jamrud, untuk Udin dengan alunan gitar yang dimainkan Amin. Udin yang tampak senang hanya tesenyum sumeringah. Selesai menyanyikan beberapa bait dari lagu itu. Udin meniup lilin ulang tahunnya. Dengan dipimpin Raka, kami semua mendo’a kan Udin.
“Amin....” Kami semua serempak menjawab kecuali Amin yang merasa namanya terpanggil justru menjawab.
“Saya...”. Kontan semuanya menengok dan mempelototi Amin dengan tatapan diem-deh-lagi-serius-nih. Amin hanya tersenyum. Selanjutnya kami mengucapkan selamat dan bersalaman dengan Udin secara bergantian (kayak ibu-ibu pengajian kalo mau pulang aja).
“Din, gue ada sesuatu nih buat lo. Tapi maaf ya, kalo gue gak bisa ngasih yang bagus.” Rico memberikan sekotak kado yang berukuran sedang. Kado itu dibungkus asal dengan koran.
“Aduh, jadi terharu. Tapi lebih banyak curiga.” Udin berakting menangis. Seakan terharu karena mendapatkan hadiah istimewa. “Kok berat, Ko?” Udin tambah sumeringah saat mengetahui kadonya terasa berat.
Rico hanya senyum-senyum bersama yang lainnya sambil berbisik-bisik. Hingga kabar itu sampai ditelinga ku dan aku meneruskannya ke telinga Faula dan begitu selanjutnya.
Udin tampak bersemangat membuka kadonya. Dengan susah payah dia membukanya. Setelah berhasil membuka kado itu, wajah Udin berubah datar.
“Sial! Isinya Batu. Nemu dimana lo?”
Tawa kami semua pun meledak. Setelah Udin mengetahui isi kado tersebut hanyalah batu berukuran sedang dan masih dilumuri sedikit tanah.
“Hahahahh... itu gue dapet dari mas Santo. Tadi gue pengen ngasih lo kado, pas gue tanya mas Santo, dia bilang ‘Kasih batu aja, mas Rico. Biar berkesan, tuh saya punya banyak batu habis ngebongkar kantin. Bingung mau dibuang kemana?’ Gitu katanya, yaudah gue setuju. Hahahahh...” Rico menjawabnya sambil terus tertawa.
               “Din, pajang ya batunya dikamar lo! Hadiah dari kita-kita tuh.” Aku menyarankan agar batu itu wajib dipajang didalam kamar Udin, sebagai kenang-kenangan dan semuanya setuju. Kecuali Udin yang masih memasang tampang datar.

Mau tau kelanjutannya??? silahkan lihat disini

0 komentar:

Posting Komentar