Senin, 21 Januari 2013

lanjutan ke-3 C.E.V.E


“Chin, udah dong mainnya. Aku capek nih.” Seru seorang anak laki-laki dari kejauhan yang tampak kelelahan.
“Yah, kamu gimana sih, Pano? Tadi kamu yang ngajakin aku main, semangat banget lagi. Tapi kenapa kamu capek duluan?” jawab seorang gadis kecil tampak polos sambil tersenyum manis. Anak itu tampak lucu. Rambutnya di ikat dua keatas dan dikepang. Pipinya yang chubbi terlihat imut saat dia tersenyum.

“Huh, gimana aku nggak capek? Akukan dari tadi lari-larian ngejar kamu.” Jawab anak laki-laki itu sambil mengatur nafas dan mengelap keringatnya yang bercucuran.
“Kamu capek? Kok aku nggak ya?” Jawab Chintya polos .
“Kamu kan naik sepeda. Kalo aku? Aku ngejar kamu dari tadi.” Jawab Distira kesal. “Kapan giliran aku? Itukan sepeda baruku. Hadiah dari papa tadi pagi.”
                “Hehehee... yaudah deh kalo kamu capek. Kita istirahat dulu aja ya disitu?” Chintya menunjuk bangku yang berada ditengah taman dekat kolam. Dan kembali mengayuh sepeda temannya itu.
“Tuh kan. Kamu naik sepeda lagi dan aku jalan lagi.” Mau tak mau, Distira mempercepat langkahnya agar sampai dibangku taman.
“Katanya capek? Ayo duduk disini.” Ajak  Chintya yang telah lebih dulu duduk manis dibangku taman.
Karena kelelahan Distira yang telah sampai ke bangku taman hanya diam dan ikut duduk disamping Chintya.
“Pano capek?” tanya Chintya yang kasihan melihat temannya kelelahan.
Distira hanya mengangguk.
“Nih minum.” Chintya menggulurkan tangannya yang memegang sebotol air minum.
“Makasih.” Jawab Distira sambil tersenyum, tapi kemudian dia ekspresinya berubah terkejut. “Lho, ini kan botol minum yang bibi kasih ke aku. Kok airnya tinggal setengah sih?”
“Hehee... tadi aku minum setengah, abis kamu lama sih kesininya. Tapi kan masih ada setengah, jadi setengah buat, Pano.” Jawab Chintya sambil tersenyum.
Distira sibuk meneguk air minumnya. Kemudian dia kembali menoleh kearah Chintya.
“Mau?” Distira menawarkan. Chintya hanya mengangguk senang.

.....................

                 Tanpa disadari Chintya yang sedang tersenyum-senyum sendiri, ada sepasang mata yang berwarna cokelat kayu yang mengamatinya dari balkon sebelah kanan rumahnya. Pemilik mata berwarna cokelat kayu itu adalah Distira. Ia mengamati sosok cantik yang selama ini menjadi tetangga sekaligus sahabatnya yang paling bawel. Ia pun tersenyum.
Chintya memang cantik, tak jarang orang yang menganggapnya sebagai bidadari, tak jarang juga banyak yang diam-diam mengejar-ngejarnya untuk menjadikannya seorang kekasih ceilah…. Hehe… Ya tahu sendiri kan selalu ada Distira disebelahnya. Gimana mau ngedeketinnya? Entah takut atau minder mereka lebih memilih menyukai diam-diam, daripada terang-terangan bersaing sama cowok prince charming gitu! udah pasti gatot alias gagal total. Tapi itu juga nggak menutup kemungkinan buat para cowok  yang ngotot minta cintanya diterima sama Chintya karena alasannya dia lebih baik segalanya dari Distira memang sih cukup meyakinkan  tapi Distira selalu maju dan mengenalkan diri sebagai pacar Chintya sekarang, itupun dipaksa oleh Chintya dan Faula yang mengeluarkan jurus ampuh mereka (merengek dan meronta-ronta di kamar Distira).
Chintya baik, pandai bergaul, pintar, sopan, modis, termasuk jajaran cewek populer di sekolahnya bahkan mungkin peringkat teratas karena dia tidak sombong seperti kebanyakan cewek “wah” yang lain yang selalu menunjukkan kelebihannya sebagai daya tarik tapi Chintya adalah kebalikannya. Baginya “Kelebihan adalah suatu anugerah bukan untuk dipamerkan. Biarkan orang lain menilainya sendiri. Just be your self” Tanpa menunjukkannya pun secara alami Chintya sudah menarik perhatian. Selain itu cewek manis yang senyumnya badai itu juga hobi banget sama beladiri apalagi judo. Namun sayang emosinya terkadang labil berat. Disamping  gayanya yang feminim, rambut yang panjang seperti iklan sampo, tubuh yang ideal, cewek penggemar high heels yang kulitnya putih bersih dan nggak takut terkena sinar matahari sepanas apapun itu, punya jiwa kesatria yang patut diacungi jempol “Sekali macam-macam kalian membangunkan seribu ekor macan” Beuh ngeri kan? Apalagi dia tuh paling nggak suka sama kata “penindasan”. Dia bakal maju duluan kalau ada orang lemah yang digilas didepan mata bening kebiruan miliknya. Jangankan dilihat, hanya mendengar kata tindas saja, dia sudah siap perang. Bisa bayangin nggak tuh gimana sangarnya?
Angin yang berhembus kencang menyambar rambut panjang Chintya yang tergerai.
“Pagi Cereeee wet.. sayang” teriak Distira dari rumahnya. Aku tertegun. Lamunanku buyar seketika. “Dasar perusak suasana” batinku. Aku melirik kearahnya yang sedang tersenyum jail kearahku. Senyuman Distira itu yang selalu membuat cewek-cewek jatuh bangun rela mengejarnya. Aku enggan menoleh, biar saja dia teriak-teriak seperti tarzan.
“Heh, Preman High Heels pangeran disini memanggilmu tau” sambil memonyongkan bibirnya  “Bengong pagi-pagi! pake senyum-senyum segala lagi” Distira mencoba mengusikku yang tampak tak peduli dengan sapaannya,
“Ceree… lo sakit ya?” Tanya Distira setengah berteriak. Chintya tersenyum senang berhasil menjaili sahabatnya itu, apalagi melihat wajahnya yang terlihat khawatir. Aku tak akan menoleh sampai dia benar-benar memanggil namaku dengan baik. Hehehe… Dasar Chintya!
“Chintya, lo kenapa?” Tanya Distira diseberang penuh perhatian. Tampak iya merogoh saku celananya dan tak lama kemudian memegang handphonenya. Yes!! Berhasil kan? Buru-buru aku menoleh kearahnya sambil tersenyum jail. Aku tahu pasti dia mau langsung telepon mama seperti biasa. Mamapun sudah maklum dengan kelakuan sahabat anak tercintanya itu yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Disitira memasukkan kembali handphonenya
“Kenapa sih pabupabu boy ku sayang? Kangen sama gue ya?” teriak Chintya
“Dasar! Ratu Jail” gerutu Distira. Aku pun tertawa melihatnya menggerutu (mirip ibu-ibu yang lagi marah sambil membawa sapu) Distira yang kesal ditertawakan seperti itu memasang tampang pura-pura bete.
Ya ampun Pano tambah lucu deh kalau muka lo kaya gitu Aku tambah cekikikan melihatnya.  
“Ih, ada apaan tuh dirambut lo?” Distira mengernyitkan dahi
“Emang ada apa dirambut gue?” tanyaku bingung sambil mencoba menghentikan tawa
“Iya tuh, liat kaya cairan gitu” jelas Distira sambil menunjuk-nunjuk kearah rambutku
“Ah, masa sih?” tanyaku. Aku pun meraba bagian atas kepalaku. Emang ada cairan apa sih? Aku masih meraba-raba rambutku tapi aku tak merasakan rambutku basah terkena cairan.
“Iya itu tuh, Keliatan tau dari sini. Yaudahlah gue siap-siap dulu ya! Tunggu aja di bawah” serunya kemudian berlalu sambil menahan tawa
“Eh tunggu!” seruku. Sial! Dia tidak menghiraukanku. Aku pun segera berlari ke kamar untuk melihat cairan apa yang dimaksud Distira? Tidak ada apa-apa, sial aku dikerjainya. Awas liat saja nanti akan ku lumat dia hidup-hidup.
“Hahaha” Terdengar suara tawa yang berat dari luar “Itu cairan namanya keringat Cereee. Hahaha satu sama deh” seru Distira yang tentu saja masih sibuk mentertawaiku. Huh, Sebal!

0 komentar:

Posting Komentar