“Chin, udah dong mainnya. Aku capek nih.”
Seru seorang anak laki-laki dari kejauhan yang tampak kelelahan.
“Yah, kamu gimana sih, Pano? Tadi kamu yang
ngajakin aku main, semangat banget lagi. Tapi kenapa kamu capek duluan?” jawab
seorang gadis kecil tampak polos sambil tersenyum manis. Anak itu tampak lucu.
Rambutnya di ikat dua keatas dan dikepang. Pipinya yang chubbi terlihat imut
saat dia tersenyum.
“Huh, gimana aku nggak capek? Akukan dari
tadi lari-larian ngejar kamu.” Jawab anak laki-laki itu sambil mengatur nafas
dan mengelap keringatnya yang bercucuran.
“Kamu capek? Kok aku nggak ya?” Jawab Chintya
polos .
“Kamu kan naik sepeda. Kalo aku? Aku ngejar
kamu dari tadi.” Jawab Distira kesal. “Kapan giliran aku? Itukan sepeda baruku.
Hadiah dari papa tadi pagi.”
“Hehehee... yaudah deh kalo kamu
capek. Kita istirahat dulu aja ya disitu?” Chintya menunjuk bangku yang berada
ditengah taman dekat kolam. Dan kembali mengayuh sepeda temannya itu.
“Tuh kan. Kamu naik sepeda lagi dan aku jalan
lagi.” Mau tak mau, Distira mempercepat langkahnya agar sampai dibangku taman.
“Katanya capek? Ayo duduk disini.” Ajak Chintya yang telah lebih dulu duduk manis
dibangku taman.
Karena
kelelahan Distira yang telah sampai ke bangku taman hanya diam dan ikut duduk
disamping Chintya.
“Pano capek?” tanya Chintya yang kasihan
melihat temannya kelelahan.
Distira
hanya mengangguk.
“Nih minum.” Chintya menggulurkan tangannya
yang memegang sebotol air minum.
“Makasih.” Jawab Distira sambil tersenyum,
tapi kemudian dia ekspresinya berubah terkejut. “Lho, ini kan botol minum yang
bibi kasih ke aku. Kok airnya tinggal setengah sih?”
“Hehee... tadi aku minum setengah, abis kamu
lama sih kesininya. Tapi kan masih ada setengah, jadi setengah buat, Pano.”
Jawab Chintya sambil tersenyum.
Distira
sibuk meneguk air minumnya. Kemudian dia kembali menoleh kearah Chintya.
“Mau?” Distira menawarkan. Chintya hanya mengangguk
senang.
.....................
Tanpa disadari Chintya yang sedang
tersenyum-senyum sendiri, ada sepasang mata yang berwarna cokelat kayu yang mengamatinya
dari balkon sebelah kanan rumahnya.
Pemilik mata berwarna cokelat kayu itu adalah Distira. Ia mengamati sosok
cantik yang selama ini menjadi tetangga sekaligus sahabatnya yang paling bawel.
Ia pun tersenyum.
Chintya
memang cantik, tak jarang orang yang menganggapnya sebagai bidadari, tak jarang
juga banyak yang diam-diam mengejar-ngejarnya untuk menjadikannya seorang kekasih
ceilah…. Hehe… Ya tahu sendiri kan selalu ada Distira disebelahnya. Gimana mau
ngedeketinnya? Entah takut atau minder mereka lebih memilih menyukai diam-diam,
daripada terang-terangan bersaing sama cowok prince charming gitu! udah pasti
gatot alias gagal total. Tapi itu juga nggak menutup kemungkinan buat para
cowok yang ngotot minta cintanya
diterima sama Chintya karena alasannya dia lebih baik segalanya dari Distira
memang sih cukup meyakinkan tapi Distira
selalu maju dan mengenalkan diri sebagai pacar Chintya sekarang, itupun dipaksa
oleh Chintya dan Faula yang mengeluarkan jurus ampuh mereka (merengek dan meronta-ronta di kamar
Distira).
Chintya
baik, pandai bergaul, pintar, sopan, modis, termasuk jajaran cewek populer di
sekolahnya bahkan mungkin peringkat teratas karena dia tidak sombong seperti
kebanyakan cewek “wah” yang lain yang selalu menunjukkan kelebihannya sebagai
daya tarik tapi Chintya adalah kebalikannya. Baginya “Kelebihan adalah suatu
anugerah bukan untuk dipamerkan. Biarkan orang lain menilainya sendiri. Just be
your self” Tanpa menunjukkannya pun secara alami Chintya sudah menarik
perhatian. Selain itu cewek manis yang senyumnya badai itu juga hobi banget
sama beladiri apalagi judo. Namun sayang emosinya terkadang labil berat.
Disamping gayanya yang feminim, rambut
yang panjang seperti iklan sampo, tubuh yang ideal, cewek penggemar high heels
yang kulitnya putih bersih dan nggak takut terkena sinar matahari sepanas
apapun itu, punya jiwa kesatria yang patut diacungi jempol
“Sekali macam-macam kalian membangunkan seribu ekor macan” Beuh ngeri kan?
Apalagi dia tuh paling nggak suka sama kata “penindasan”. Dia bakal maju duluan
kalau ada orang lemah yang digilas didepan mata bening kebiruan miliknya. Jangankan dilihat, hanya mendengar kata tindas saja, dia sudah siap perang. Bisa bayangin nggak tuh gimana sangarnya?
Angin
yang berhembus kencang menyambar rambut panjang Chintya yang tergerai.
“Pagi
Cereeee wet.. sayang” teriak Distira dari rumahnya. Aku tertegun. Lamunanku
buyar seketika. “Dasar perusak suasana” batinku. Aku melirik kearahnya yang
sedang tersenyum jail kearahku. Senyuman Distira itu yang selalu membuat
cewek-cewek jatuh bangun rela mengejarnya. Aku enggan menoleh, biar saja dia
teriak-teriak seperti tarzan.
“Heh,
Preman High Heels pangeran disini memanggilmu tau” sambil memonyongkan bibirnya
“Bengong pagi-pagi! pake senyum-senyum
segala lagi” Distira mencoba mengusikku yang tampak tak peduli dengan sapaannya,
“Ceree… lo
sakit ya?” Tanya Distira setengah berteriak. Chintya tersenyum senang berhasil
menjaili sahabatnya itu, apalagi melihat wajahnya
yang terlihat khawatir. Aku tak
akan menoleh sampai dia benar-benar memanggil namaku dengan baik. Hehehe… Dasar
Chintya!
“Chintya,
lo kenapa?” Tanya Distira diseberang penuh perhatian. Tampak iya merogoh saku
celananya dan tak lama kemudian memegang handphonenya. Yes!! Berhasil kan? Buru-buru aku menoleh kearahnya sambil tersenyum jail. Aku tahu pasti dia mau
langsung telepon mama seperti biasa. Mamapun sudah maklum dengan kelakuan
sahabat anak tercintanya itu yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Disitira memasukkan kembali handphonenya
“Kenapa
sih pabupabu boy ku sayang? Kangen sama gue ya?” teriak Chintya
“Dasar!
Ratu Jail” gerutu Distira. Aku pun tertawa melihatnya menggerutu (mirip ibu-ibu
yang lagi marah sambil membawa sapu) Distira yang kesal ditertawakan seperti
itu memasang tampang pura-pura bete.
“Ya ampun Pano tambah
lucu deh kalau muka lo kaya gitu” Aku tambah cekikikan melihatnya.
“Ih, ada
apaan tuh dirambut lo?” Distira mengernyitkan dahi
“Emang
ada apa dirambut gue?” tanyaku bingung sambil mencoba menghentikan tawa
“Iya tuh,
liat kaya cairan gitu” jelas Distira sambil menunjuk-nunjuk kearah rambutku
“Ah, masa
sih?” tanyaku. Aku pun meraba bagian atas kepalaku. Emang ada cairan apa sih?
Aku masih meraba-raba rambutku tapi aku tak merasakan rambutku basah terkena
cairan.
“Iya itu
tuh, Keliatan tau dari sini. Yaudahlah gue siap-siap dulu ya! Tunggu aja di bawah” serunya kemudian berlalu sambil
menahan tawa
“Eh
tunggu!” seruku. Sial! Dia tidak menghiraukanku. Aku pun segera berlari ke
kamar untuk melihat cairan apa yang dimaksud Distira? Tidak ada apa-apa, sial
aku dikerjainya. Awas liat saja nanti akan ku lumat dia hidup-hidup.
“Hahaha”
Terdengar suara tawa yang berat dari luar “Itu cairan namanya keringat Cereee. Hahaha
satu sama deh” seru Distira yang tentu saja masih sibuk mentertawaiku. Huh,
Sebal!
Label: Cerita Bersambung